MA Sudah Bentuk Pokja Penyusunan Kompilasi Hukum Muamalah Syari'ah
Berita

MA Sudah Bentuk Pokja Penyusunan Kompilasi Hukum Muamalah Syari'ah

Agar segera bisa mengisi kekosongan hukum, payung hukum kompilasi itu kemungkinan berbentuk PERMA.

CRH
Bacaan 2 Menit
MA Sudah Bentuk Pokja Penyusunan Kompilasi Hukum Muamalah Syari'ah
Hukumonline

 

Sekalipun Majallah sangat tepat dijadikan acuan dan perbandingan, tetapi tim pokja tak akan ke Turki untuk mempelajarinya. Selain disusun dengan bahasa Turki, naskah Majallah juga dicetak dalam bahasa Inggris. Bahkan terjemahannya dalam bahasa Indonesia juga ada.

 

Langkah lainnya yang ditempuh pokja ini dalam rangka menyusun draft KHMS adalah mengadakan kerja sama dengan Bank Indonesia (BI). Bagaimanapun juga, BI harus dilibatkan karena regulasi mengenai perbankan dibuat oleh BI. Lebih dari itu, Oktober kemarin BI juga telah menerbitkan beberapa peraturan tentang praktik perbankan syari'ah. Tentu tidak salah langkah jika MA menggandeng BI untuk menyusun KHMS.

 

Di samping itu, Pokja ini juga sudah menyiapkan serangkaian workshop dengan para ulama, akademisi, praktisi, dan kalangan lain yang berkompeten di bidang ekonomi syari'ah. Melalui workshop itu diharapkan peta persoalan ekonomi syari'ah semakin terang dan dapat dicarikan penyelesaiannya.

 

Ikuti Jejak KHI

KHMS, kata Rifyal, tetap didasarkan pada fiqh muamalah tetapi diadaptasikan dengan perkembangan hukum ekonomi modern. Selain itu juga merujuk pada penerapan ekonomi syari'ah selama 20 tahun terakhir di Negara-negara Islam.

 

Ada 11 item yang akan dimasukkan dalam KHMS. Ini mengacu pada ketentuan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Adapun ke-11 item tersebut adalah bank syari'ah; lembaga keuangan mikro syari'ah; asuransi syari'ah; reasuransi syari'ah; reksa dana syari'ah; obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah; sekuritas syari'ah; pembiayaan syari'ah; pegadaian syari'ah; dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan bisnis syari'ah.

 

Setelah tersusun, KHMS ini nanti akan berbentuk Perma. Dari segi status, memang sangat lemah. Tetapi, kata Rifyal, ini semata-mata untuk mengisi kekosongan hukum, baik material maupun formal, mengenai ekonomi syari'ah. Yang penting kompilasi itu bisa dipakai hakim peradilan agama, ujar Rifyal.

 

Seperti KHI, kata Rifyal, KHMS juga diproyeksikan untuk menjadi UU. Hanya, untuk menjadi UU diperlukan proses yang lama. Karena itulah, setelah tersusun nanti, akan dilihat dulu bagaimana respon masyarakat. Kalau responnya bagus, lima tahun ke depan, perma itu tak tertutup kemungkinan bisa menjadi UU.

 

Kompilasi Hukum Muamalah Syari'ah diproyeksikan menjadi hukum material dan formal untuk menangani perkara-perkara di bidang ekonomi syari'ah. Sebagai tindak lanjut pembahasan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di Batam September lalu, MA terus melakukan langkah-langkah menuju penyusunan regulasi ekonomi syari'ah.

 

Mahkamah Agung sudah membentuk sebuah kelompok kerja (Pokja). Pokja inilah yang diberi tugas menyusun Kompilasi Hukum Muamalah Syari'ah (KHMS). Hakim Agung Abdul Manan dan Rifyal Ka'bah masing-masing ditunjuk sebagai Ketua dan Sekretaris Pokja.

 

Meski permasalahan ekonomi syari'ah cukup kompleks, namun waktu yang diberikan kepada Pokja untuk menyusun KHMS hanya setahun. Menurut Rifyal, MA berkeinginan segera menyusun aturan KHMS, paling tidak agar bisa mengisi kekosongan hukum perkara-perkara muamalah syariah sejak berlakunya UU No. 3 Tahun 2006. Adanya aturan yang tegas diharapkan bisa mengatasi persoalan yurisdiksi, pengadilan mana yang berwenang menangani sengketa perbankan syari'ah.

 

Ditemui di ruang kerjanya, Jum'at (03/11), Rifyal Ka'bah menyatakan bahwa setahun merupakan waktu yang singkat dalam hal penyusunan sebuah ketentuan hukum. Apalagi untuk membuat ketentuan tentang ekonomi syari'ah yang memang tergolong ‘barang' baru di Indonesia. Bandingkan dengan hukum ekonomi sekuler yang disusun bertahun-tahun, tuturnya.

 

Untuk itulah, kata Rifyal, dalam waktu dekat, Pokja ini akan melakukan studi banding ke negara-negara yang telah menerapkan ekonomi syari'ah seperti Malaysia, Pakistan dan Sudan. Bahkan, studi banding juga akan dilakukan ke Inggris. Di negara ini ternyata juga ditemukan praktik ekonomi syari'ah meskipun bukan negara Islam, tambahnya.

 

Pokja ini juga akan melakukan kajian secara komprehensif terhadap Kitab Undang-undang Hukum Perdata Turki yang disebut Majallah. Kalau di Indonesia, kata Rifyal, Majallah setara dengan BW. Bedanya, Majallah juga mencakup peraturan mengenai ekonomi syari'ah.

Halaman Selanjutnya:
Tags: