Ketua SPI: Advokat Tidak Lagi Dipandang Officium Nobileum
Utama

Ketua SPI: Advokat Tidak Lagi Dipandang Officium Nobileum

Ketua MA memandang masyarakat sulit mendapatkan access to justice karena biaya untuk mendapatkan jasa hukum di Indonesia tidak murah.

Rzk
Bacaan 2 Menit
Ketua SPI: Advokat Tidak Lagi Dipandang <i>Officium Nobileum</i>
Hukumonline

 

Advokat dianggap tidak lagi peduli dengan nasib rakyat kecil dan hanya bekerja untuk meraih materi, ujar Trimedya yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Komisi III DPR RI ini.

 

Penyebab lainnya adalah adanya oknum-oknum advokat yang nakal yang telah mencoreng nama baik profesi advokat. Menurut Trimedya, tidak dapat diingkari lagi bahwa saat ini ada oknum-oknum advokat yang telah menjadi bagian dari mafia peradilan.   

 

Sepaham dengan Trimedya, Ketua PERADI Otto Hasibuan juga mengungkapkan kekhawatiran yang sama. Otto melihat walaupun UU Advokat telah secara resmi menyandingkan label Officium Nobileum kepada advokat, tetapi masyakat masih sulit untuk mengakuinya.

 

Bantuan hukum pro bono

Sebagai solusi, Otto menyarankan agar kalangan advokat segera berbenah diri dengan cara meningkatkan profesionalitas dan kualitas mereka. Seorang advokat haruslah terus mengembangkan keahlian serta ketrampilan mereka.

 

Sementara itu, Trimedya berpendapat meningkatkan profesionalitas saja tidak cukup untuk mengembalikan kedudukan advokat sebagai Officium Nobileum. Advokat juga harus mematuhi kode etik profesi, salah satu bentuknya adalah dengan tidak berorientasi pada materi semata. Advokat memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan hukum pro bono (secara cuma-cuma, red.) kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Kewajiban ini diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UU Advokat yang berbunyi Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

 

Dengan redaksional yang sama, kewajiban memberikan bantuan hukum pro bono juga diatur dalam Pasal 7 butir 8 Kode Etik Advokat. Selanjutnya, Pasal 4 butir 6 Kode Etik Advokat yang disahkan 23 Mei 2002 menegaskan bahwa dalam memberikan bantuan hukum pro bono, advokat harus memberikan perhatian yang sama seperti terhadap perkara dimana ia menerima uang jasa.  Pemberian bantuan hukum pro bono sudah menjadi program kerja SPI sejak awal didirikan dan akan terus ditingkatkan pelaksanaannya, kata Trimedya.

 

Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan dalam pidatonya dihadapan peserta Kongres SPI mengatakan telah terjadi anomali (hal yang tak biasa, red.) dalam proses peradilan di Indonesia. Di satu sisi, pengadilan menetapkan biaya perkara yang sangat murah bagi para pencari keadilan. Namun di sisi lain, para advokat dapat menentukan tarif jasa hukum sebebas mereka.

 

Alhasil, access to justice (akses keadilan, red.) bagi para pencari keadilan, khususnya mereka yang tidak mampu menjadi terhambat. Menurut Bagir, seorang advokat perlu mengoptimalkan peran sosial disamping peran profesional mereka. Untuk itu, advokat harus menyempatkan diri untuk memberi bantuan hukum secara cuma-cuma bagi mereka yang tidak mampu. Bantuan hukum secara cuma-cuma bagi yang tidak mampu perlu untuk menjamin persamaan ddi hadapan hukum dan access to justice, ujar Bagir.     

Serikat Pengacara Indonesia (SPI), salah satu dari delapan organisasi pendiri Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) menggelar kongresnya yang ketiga, sekaligus memperingati sewindu usia organisasi yang diketuai Trimedya Panjaitan ini. Kongres yang rencananya akan digelar selama 3 hari sejak 28 Juni 2006 ini mengusung tema Revitalisasi Peran Serikat Pengacara Indonesia dalam Meningkatkan Profesionalisme Advokat dan Pemberdayaan Hak-hak Hukum Masyarakat.

 

SPI merupakan organisasi advokat yang masih relatif muda. Didirikan pada 28 Juni 1998, SPI hingga saat ini telah berhasil menghimpun anggota sebanyak 1100 orang yang tersebar di 21 Dewan Pengurus Daerah (DPD) dan 32 Dewan Pengurus Cabang (DPC).

 

Dalam sambutannya, Trimedya menekankan bahwa seorang advokat yang oleh UU No. 18/2003 diberi label sebagai Officium Nobileum (profesi mulia, red.) tidak saja harus berprilaku jujur dan bermoral tinggi, tetapi juga harus mendapat kepercayaan publik bahwa advokat tersebut akan selalu berprilaku demikian.

 

Sayangnya, label Officium Nobileum yang melekat pada diri advokat saat ini hanya menjadi jargon semata di kalangan internal. Sementara masyarakat pada umumnya tidak lagi mengenal istilah tersebut. Masyarakat tidak lagi memberikan predikat Officium Nobileum kepada advokat, tukas Trimedya.

 

Kondisi ini, menurut Trimedya, berbeda dengan masa lalu dimana ketika itu profesi advokat sangat dipuji dan dihormati oleh masyarakat karena banyak advokat membela rakyat kecil atau kaum tertindas. Namun seiring dengan berjalannya waktu, citra tersebut memudar. Advokat tidak lagi menjadi tumpuan harapan rakyat miskin yang sedang mencari keadilan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: