MA akan Keluarkan Juklak UU Pengadilan Hubungan Industrial
Berita

MA akan Keluarkan Juklak UU Pengadilan Hubungan Industrial

Terbitnya UU No.2/2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang tidak seiring pembenahan infrastruktur dan aturan main yang jelas menyebaban stagnasi. Ketidaktegasan UU tersebut menimbulkan kebingungan dalam melaksanakan ketentuan mekanismenya.

CRR
Bacaan 2 Menit
MA akan Keluarkan Juklak UU Pengadilan Hubungan Industrial
Hukumonline

 

Mitar menambahkan bahwa kelemahan lainnya yang dimiliki oleh UU No.2/2004 itu adalah tidak adanya ketegasan tenggat waktu yang harus dipenuhi oleh P4P untuk menyelesaikan perkara.

 

Otto Hasibuan, Ketua umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradi), menambah daftar keanehan dari UU No.2/2004. Menurutnya beberapa pasal UU ini bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum. Misalnya saja ini terjadi dengan pasal 12 yang mengungkapkan soal proses mediasi yang eksekusi dari perjanjian bersama-nya dapat dibuat di pengadilan. Pasal ini aneh dan rentan menimbulkan masalah, jelas Otto.

 

Ketiga tahap itu merupakan mekanisme penyelesaian secara sederhana yang difasilitasi pemerintah diluar penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Pada upaya terakhir ketika semua upaya tersebut gagal menacapi kata sepakat, maka para pihak yang bersengketa dapat meminta penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Menanggapi proses mediasi sebagai proses awal sebelum tahap rekonsiliasi dan arbitrase, menurut Otto, konsep mediasi seharusnya sifatnya volunteer, bukan paksaan dan tidak diharuskan dalam proses penyelesaian perkara.

 

Gayus Lumbuun, anggota Komisi II DPR-RI, menambahkan daftar kelemahan UU No.2/2004, yaitu UU Peradilan Hubungan industrial ini sebenarnya harus dapat menjelaskan wilayah atau ranahnya yang membedakan dengan UU Ketenagakerjaan. Untuk itulah semestinya UU ini diikuti oleh penyesuaian langkah-langkah. Ketimpangan pelaksanaan UU Peradilan perindustrian ini merupakan salah satu sebab Komisi II merencanakan mendirikan Law Centre di DPR yang tugasnya menelaah pembuatan UU.

 

Suparno menepis anggapan bahwa stagnasi peralihan dari P4D dan P4P akan merugikan banyak pihak. Menurutnya hal ini bisa diatasi dengan register sementara yang diberikan MA pada tiap kasus yang ditampung sebelum dilimpahkan ke PHI. Ketika ada pihak yang tidak puas dengan putusan Peradilan Hubungan Industrial, maka dalam waktu 14 hari bisa meminta Peninjauan Kembali (PK) ke MA. Dalam PK tersebut, MA hanya diberi waktu 30 hari memutuskan. Saya tidak habis pikir, mereka yang membuat UU ini apakah tidak membayangkan begitu banyaknya tunggakan kasus yang harus diputus MA dalam waktu 30 hari, keluh Suparno.

 

Bagaimanapun juga surat edaran ataupun petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis harus dikeluarkan MA sebagai petunjuk bagi hakim agung yang baru diangkat dan panitera pengganti dari Depnaker yang minim pengalaman dalam memutuskan perkara industrial. Menurut Suparno walaupun UU ini dirasa banyak kecacatannya, maka diusahakan paniteranya cakap dalam memutuskan perkara. Inilah yang menjadi modal awal harapan terlaksananya ketentuan UU tersebut.

 

Untuk mengatasi kebingungan penerjemahan UU No.2/2004, maka MA membuat petunjuk pelaksanaan yang rencanannya akan dikeluarkan minggu depan. Suparno menjelaskan bahwa bila ada perkara yang belum diputuskan oleh P4P maka selanjutkan dapat dilimpahkan di peradilan pembinaan hubungan industrial yang kemudian di register oleh MA dan dilakukan minutasi atau pemeriksaan kembali pada pihak-pihak yang berkaitan. Sedangkan bila tidak puas pada putusan perkara P4P, bisa meminta kasasi ke MA dalam tenggat waktu 14 hari.

 

Langkah-langkah progresif lainnya yang dilakukan MA adalah mengambil sumpah hakim Ad-hoc sebelum 30 maret 2006. Awal April tahun ini peradilan hubungan industrial akan memulai action-nya dan seluruh Kepres pengangkatan Hakim Ad-Hoc harus turun, Suparno menjanjikan.

Suko Mulyono, selaku mantan kepala kepaniteraan P4P Depnakertrans RI, mengungkapkan data-data yang cukup mencengangkan. Dalam arsipnya, masih ada 733 perkara yang masih tertunda diselesaikan.

 

Ketika pada 14 Januari 2006 Menakertrans meresmikan perealisasian berdirinya peradilan Hubungan Indistrial yang menghilangkan fungsi dari P4D/P4P, pada kenyataannya terjadi kebingungan dan stagnasi. Menurut Suparno, S.H., Direktur Hukum dan Peradilan M.A., terjadinya stagnasi sampai sekarang dianggap wajar, karena tidak mungkin perkara yang berjumlah lebih dari 700 dapat terselesaikan dalam waktu sesingkat itu.

 

UU No.2/2004 seharusnya mulai berlaku 1 tahun sejak diundangkan, akan tetapi berdasarkan Perppu No.1 tahun 2005, UU itu baru efektif bisa dilakukan tahun 2006 ini. Keterlambatan ini tentu membawa dampak penundaan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan penumpukkan di masalah sengketa di P4D/P4P. Tentunya penundaan ini berakibat pada ketidakpastian hukum bagi pihak yang mencari penyelesaian. Kondisi ini bisa berakibat pada kemunduran kepercayaan investor pada pengembangan iklim ekonomi.

 

Stagnasi pemutusan perkara akibat ketidakjelasan UUNo.2/2004 itulah yang dibahas dalam diskusi publik: Akibat dan Dampak Stagnasi Penerapan UU No.2/2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial. Dialog publik yang diprakarsai oleh Association for the Development of Pancasila Industrial Relation (ADI) dan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Krisnadwipayana Jakarta.

 

Kelemahan UU peradilan hubungan industrial ini turut dirasakan pihak Depnakertrans. Dalam UU tersebut tidak menyebutkan penggunaan panitera bila ada yang berselisih. Dengan begitu ketika P4D dan P4P dibubarkan, maka pihak yang terkait dengan suatu kasus tidak tahu akan kemana lagi mengadukan hal ini. Ujung-ujungnya mereka mengadukan perkara ke Depnakertrans karena peradilan hubungan industrial belum berjalan, tukas Mitar Pelawi, Kepala Sub Direktorat Penyelesaian Perselisihan Depnakertrans.

Tags: