Waralaba Masih Menjadi ‘Anak Tiri'
Berita

Waralaba Masih Menjadi ‘Anak Tiri'

RUU Perdagangan hanya memuat satu pasal yang mengatur waralaba. Padahal praktek waralaba sudah sedemikian pesat.

Tif
Bacaan 2 Menit
Waralaba Masih Menjadi ‘Anak Tiri'
Hukumonline

 

Kasubdit Direktorat Merek Dephukham Yuslisarningsih menyatakan bahwa saat ini RPP yang akan direncanakan mengganti PP No.16/1997 tentang Waralaba belum keluar dari Seskab. Padahal, lanjut ia, PP ini sangat diperlukan untuk pencatatan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI). Ia berharap PP itu dapat segera disahkan pada tahun 2006.

 

Konsultan Senior Franchise dari FT Consulting Utomo Njoto menyoroti Pasal 34 ayat (2) RUU Perdagangan yang menyebutkan bahwa perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dan penerima walaba dibuat dalam Bahasa Indonesia dan berlaku Hukum Indonesia. Ia mengusulkan agar perjanjian tersebut dibuat dalam dua bahasa yaitu bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Biasanya, selama ini kalau ada dispute, yang dijadikan acuan adalah yang bahasa Inggris, kata Utomo.

 

Erwin Owan Hermansyah, franchisee lokal untuk Indomaret dan Laundrette, mengusulkan agar dibentuk Komisi Waralaba. Komisi ini nantinya setara dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Komisi Yudisial (KY), dan terdiri atas unsur Pemerintah, swasta dan masyarakat.

 

Selain itu, Erwin juga mengusulkan adanya memiliki LBH waralaba dan pusat komunikasi waralaba Indonesia. Erwin menilai hal ini penting untuk memberikan informasi yang utuh pada para pebisnis yang tertarik untuk terjun ke dunia waralaba.

Dalam lokakarya bertema Mengupas RUU Perdagangan dan RPP Waralaba di Jakarta, Kamis (23/3), Ketua Dewan Pengarah Perhimpulan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI) Amir Karamoy mempertanyakan apakah perlu dibuat UU yang mengatur waralaba dan lisensi secara tersendiri.

 

Pasalnya, sekitar 60 persen usaha yang menyatakan diri sebagai waralaba ternyata bukan waralaba format bisnis (business format franchising). Melainkan waralaba produk (product franchising) dan waralaba merek (trademark franchising) yang sebenarnya merupakan pola lisensi.

 

Amir juga menyatakan bahwa UU No.9/1995 tentang Usaha Kecil dan UU No.5/1999 tentang Persaingan Usaha akan diamandemen. Demikian pula dengan UU Perdagangan. Padahal Pasal 30 ayat (1) UU No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa PP ditetapkan untuk melaksanakan UU. Oleh karena itu, ia merasa janggal jika amandemen PP selesai lebih dahulu dari UU.

 

Amir juga mengusulkan agar Pendaftaran Usaha Waralaba tidak lagi dikendalikan Pemerintah, tetapi oleh organisasi profesi seperti WALI. Ia mencontohkan izin praktek dokter yang dikeluarkan IDI dan izin praktek pengacara oleh Peradi.

 

Dalam RUU Perdagangan, tampak bahwa Pemerintah memegang kendali terhadap pertumbuhan dan kompetisi waralaba. Misalnya, aturan perizinan, pendaftaran usaha, wilayah usaha, pelaporan berkala, perjanjian dalam bahasa Indonesia dan jangka waktu minimal lima tahun. Apakah harus demikian? Di pihak lain, lisensi tidak diatur ketat. Padahal waralaba dan lisensi dalam prakteknya sama, kata Amir.

Tags: