Belum Tentu Adil, Membagi Gono Gini Menjadi Dua Bagian yang Sama
Berita

Belum Tentu Adil, Membagi Gono Gini Menjadi Dua Bagian yang Sama

Pembagian harta gono gini secara adil bukan persoalan gampang. Penanganan yang salah bisa berujung pada nyawa.

CR-2/Mys
Bacaan 2 Menit
Belum Tentu Adil, Membagi Gono Gini Menjadi Dua Bagian yang Sama
Hukumonline

 

Acapkali terjadi, salah satu pasangan sudah memiliki kekayaan sebelum melangsungkan pernikahan. Mungkin juga diberikan oleh orang tuanya. Pada masyarakat adat Batak, misalnya, orang tua perempuan sering memberikan hadiah perkawinan berupa saba bangunan, pauseang, atau indahan arian. Tetapi dalam praktek, hadiah perkawinan semacam itu bisa menjadi masalah (lihat misalnya putusan Mahkamah Agung No. 753K/Pdt/2000).

 

Masalah lain bisa timbul jika hanya salah satu pihak saja yang bekerja. Ini pernah melanda pasangan aktris Hughes dan suaminya Avin. Pasangan yang bekerja merasa lebih berhak mendapatkan bagian yang lebih banyak daripada yang tidak. 

 

Di mata Sulistyowati Irianto, dalam kasus dimana suami tidak bekerja sejak awal perkawinan, lanjut Sulistyowati, maka harta gono-gini,  termasuk penghasilan istri, tetap dibagi dua. Hal ini dengan asumsi bahwa kalau yang satu tidak menghasilkan, maka yang lain tidak bisa menghasilkan uang tanpa bantuan yang satu.

 

Meskipun demikian, kata dia, hal ini harus dikritisi, merugikan perempuan atau tidak. Terminologi penganggurannya harus jelas. Misalnya jika si suami ikut bantu mencuci dan memasak, itu tidak bisa dikatakan pengangguran. Itu sebabnya staf pengajar pasca sarjana Universitas Indonesia ini berpandangan membagi harta gono gini ke dalam dua bagian yang sama belum tentu adil.

 

Bagi dua itu belum tentu adil dalam prakteknya. Kadang yang dibagi dua hanya harta formal seperti gaji. Padahal misalnya terjadi pada pegawai negeri sipil (PNS), gaji PNS hanya sekitar Rp2 juta, ujarnya kepada hukumonline.

 

Hukum Islam dan adat Batak

Guru Besar Universitas Indonesia Prof. H.M Tahir Azhary berpendapat bahwa ribut-ribut soal pembagian gono gini tidak semestinya terjadi bila mengacu pada aturan hukum Islam. Prinsip Islam, harta suami dengan harta isteri tetap terpisah meskipun mereka terikat tali perkawinan. Kecuali, sebelum menikah mereka membuat perjanjian pra-nikah yang bersepakat menggabungkan harta.

 

Prinsip ini, kata Azhary, berbeda dengan konsep KUH Perdata yang menegaskan bahwa kalau tidak ada perjanjian, maka otomatis harta suami isteri bercampur.

 

Menurut saya, dalam Islam sangat adil. Walaupun terjadi pernikahan, harta masing-masing tetap terpisah. Itu prinsip dalam hukum Islam, kata Tahir kepada hukumonline.

 

Dalam praktek, masyarakat lebih mengenal pembagian harta perkawinan menurut hukum adat ketimbang UU Perkawinan 1974. Padahal, Sulityowati Irianto menganggap hukum adat, terutama yang patrilineal, sangat diskriminatif terhadap perempuan. Ia mencontohkan adat Batak yang tidak mengenal harta gono gini.

 

Jika terjadi perceraian, maka menurut hukum adat harta harus kembali ke suaminya. Jadi istri keluar dari rumah suami, padahal berpuluh tahun dia ikut suami. Atau kalau suami meninggal, harta harus kembali ke keluarga suami.

 

Selain itu, kata Sulistyowati, dikenal pula pranata manean yaitu jika suami meninggal maka si istri akan dimiliki saudara laki-laki suaminya. Pasalnya, mas kawin sudah dibayar sehingga keluarga si laki-laki tidak mau rugi. Meskipun, seperti diakui Sulistyowati dalam bukunya Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum, pranata manean itu sudah cenderung ditinggalkan.

Kasus penikaman hakim di dalam ruang sidang Pengadilan Agama Sidoarjo, 21 September silam, bisa menjadi contoh.  Tindakan Kolonel M. Irfan menikam isterinya Eka Suhartini dan hakim Ahmad Taufiq yang menangani perkaranya, bukan saja menjadi tragedi bagi dunia peradilan, tetapi juga  menunjukkan betapa pelik dan sensitifnya masalah harta gono-gini.

 

Problem yang sering muncul antara lain disebabkan kurangnya pemahaman tentang apa saja yang masuk kategori harta gono gini. Menurut Sulistyowati Irianto, harta gono gini adalah semua harta yang dimiliki sejak kedua pihak menyatu dalam perkawinan. Jika perkawinan mereka berakhir, maka harta tersebut dibagi dua. Namun staf pengajar Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia itu, jika perempuan sudah memiliki harta bawaan, maka ia boleh menyimpan atas nama sendiri.

Tags: