Kewenangan Mengajukan Pailit Perusahaan Asuransi Tetap di Menkeu
Utama

Kewenangan Mengajukan Pailit Perusahaan Asuransi Tetap di Menkeu

Demi melindungi kepentingan yang lebih besar, Mahkamah Konstiusi (MK) meneguhkan kewenangan Menkeu dalam mengajukan pemohonan pailit terhadap perusahaan asuransi.

CR
Bacaan 2 Menit
Kewenangan Mengajukan Pailit Perusahaan Asuransi Tetap di Menkeu
Hukumonline

 

Perlu disampaikan, pada putusan ini terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim konstitusi, Prof. Laica Marzuki. Dia berpendapat, keterlibatan Menkeu dalam Pasal 2 ayat (5) UU No 37/2004, bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUH Perdata). Bahkan secara konstitusional, Laica beranggapan, persyaratan prosedural tersebut mengandung perlakuan diskriminatif yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

 

Batalkan kewenangan panitera

 

Kalau untuk Pasal 2 ayat(5) MK menyatakan menolak, sebaliknya judicial review Pasal 6 ayat(3) UU No.37/2004 yang diajukan oleh pemohon yang sama justru dikabulkan. Pasal 6 ayat(3) mengatur kewenangan panitera pengadilan niaga untuk langsung menolak permohonan pailit yang bukan diajukan oleh pihak yang memiliki kewenangan.

 

Di dalam penjelasannya, MK berpendapat bahwa panitera seharusnya hanya diberikan tugas teknis administrasi yustisial, untuk mendukung terhadap fungsi yustisial yang dimiliki hakim. Sedangkan penolakan permohonan, dinilai sudah memasuki ranah yustisial.

 

Lebih jauh, MK mendasarkan pendapatnya pada asas hukum Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukan dengan dalil tidak ada hukum atau kurang jelas. Asas hukum ini tercantum dalam Pasal 16 ayat (1) UU No 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sehingga, berdasarkan penafsiran argumentum a contrario, maka hakim tidak boleh menolak perkara.

 

Apabila panitera diberikan kewenangan tersebut, MK mengartikan, panitera telah mengambil alih kewenangan hakim. Jika demikian halnya, maka bertentangan dengan prinsip due process of law, yang merupakan pilar penegakan hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.


Pendapat MK ini berbeda dengan pendapat Fred BG Tumbuan, salah satu anggota tim perumus UU No 37/2004. Ketika diwawancarai hukumonline beberapa waktu lalu, dia mengatakan bahwa kewenangan panitera untuk menolak permohonan karena UU No.37/2004 bersifat lex specialis dibandingkan UU No.4/2004.

Permohonan judicial  review terhadap Pasal 2 ayat(5) UU No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (17/5). Pasal tersebut mengatur kewenangan memailitkan perusahaan asuransi yang berada di tangan Menteri Keuangan. Permohonan judicial review ini diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi (YLKAI) serta Suharyanti dan Aryunia Chandra Purnama.

 

Panel MK yang diketuai Prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan, ketentuan pasal tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Dalam pertimbangannya, MK melihat ada kepentingan besar yang harus dilindungi, dalam upaya mempailitkan perusahaan asuransi. MK menilai, kewenangan Menkeu untuk mengajukan permohonan pailit, bukan wewenang yustisial (mengadili), sehingga hal itu tidak bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), (2), dan (3), serta Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. 

 

Selain itu, MK berpandangan bahwa pembatasan pengajuan permohonan pailit bagi konsumen asuransi, tidak membatasi hak mereka untuk mengajukan gugatan secara perdata di pengadilan negeri. Lagipula, MK menegaskan, pembatasan seperti ini dibenarkan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

 

Apa yang menjadi pertimbangan MK ini berbeda dengan pendapat ahli yang diajukan oleh pemohon, yaitu Prof. Philipus M. Hadjon. Sebelumnya dalam keterangannya di persidangan MK, Philipus menilai perlunya diberikan kesempatan yang seimbang bagi konsumen asuransi untuk memperjuangkan haknya.

Tags: