Praktek Eksekusi Gadai Saham Simpang Siur
Utama

Praktek Eksekusi Gadai Saham Simpang Siur

Frase kalimat ‘Apabila tidak diperjanjikan lain' yang ada pada Pasal 1155 KUH Perdata telah menimbulkan berbagai penfasiran mengenai eksekusi gadai saham.

CR
Bacaan 2 Menit
Praktek Eksekusi Gadai Saham Simpang Siur
Hukumonline

Jadi, ucapnya, jika debitor cidera janji, maka kreditor dapat langsung menjual saham yang digadaikan melalui kantor lelang. Sedangkan eksekusi gadai saham melalui private selling, lanjutnya, hanya dapat dilakukan dengan cara pengajuan gugatan sesuai dengan pasal 1156 KUH Perdata. Ia merujuk pada kalimat menuntut di muka hakim (pasal 1156 KUH Perdata), yang diartikan sebagai menggugat.

Rasionya, hakim hanya akan memberi izin untuk menjual di bawah tangan berdasar 1156 KUH Perdata, kalau ada gugatan. Dengan gugatan, debitor bisa dipanggil dan bisa membela diri. Kalau dengan permohonan, debitor tidak diperiksa ke pengadilan, paparnya.

Namun, ia melihat dalam prakteknya, tidak pernah parate eksekusi itu diterapkan. Umumnya, pemegang gadai selalu minta persetujuan ketua pengadilan negeri untuk mengeluarkan fiat eksekusi, sebelum menjualnya ke kantor lelang.

Keberadaan fiat eksekusi inilah yang menjadi pertimbangan penting dari Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN). Hal ini terungkap dari penuturan seorang pejabat DJPLN.

Kami tidak mau melaksanakan lelang, jika masih ada sengketa di dalamnya. Lelang bisa dilakukan kalau ada putusan atau penetapan dari pengadilan. Mahkamah Agung (MA) pernah membatalkan lelang seperti ini tahun 1984 atas penetapan di PN Bandung, tukasnya.

Dia berargumen, pengadilan lebih berwenang menyatakan debitor wanprestasi. Ia juga menggarisbawahi, surat kuasa menjual tidak bisa dijadikan dasar yang kuat untuk mengajukan lelang saham.

Salah paham

Di mata Chandra, kantor lelang seharusnya bisa menerima permintaan lelang saham dengan berpegang pada parate eksekusi, sebagaimana diatur dalam pasal 1155 KUH Perdata. Malah dia berpendapat, kantor lelang hanya khawatir digugat oleh debitor, jika perkara pokok dari gadai saham tersebut masih menjadi sengketa.

Lebih jauh, partner dari kantor hukum Assegaf Hamzah & Partners ini menilai, kesalahpahaman pejabat DJPLN telah menyebabkan banyak pihak berkreasi membuat kuasa menjual (power of attorney). Harapannya, penjualan saham dapat lebih cepat dilakukan.

Ada lack of the process. Sementara kalau meminta fiat eksekusi ke pengadilan, akan memakan waktu yang lama karena prosedurnya harus melalui gugatan. Padahal yang diperlukan dalam hukum jaminan adalah proses yang cepat, cetus Chandra. Ia mengusulkan, agar dibuat aturan khusus tentang gadai, seperti fidusia dan hak tanggungan yang telah ada undang-undangnya.

Beberapa praktisi hukum yang pernah punya pengalaman menangani eksekusi gadai saham menuturkan kepada hukumonline bahwa mereka lebih memilih private selling-–tanpa melalui gugatan--sebagai upaya pemenuhan hak-hak kreditor. Pasalnya, gadai saham merupakan hak dari kreditor preference (istimewa). Sehingga, untuk eksekusinya pun, dinilai bisa dilakukan melalui upaya hukum yang istimewa.

Dimintai pandangannya, Ketua Muda Perdata Mahkamah Agung Harifin Tumpa mengemukakan seandainya ada perselisihan antara kreditor dan debitor, eksekusi saham yang dijaminkan harus menunggu putusan pengadilan yang menyatakan debitor wanprestasi terlebih dahulu. Ia juga menggarisbawahi seandainya ada sengketa, kreditor tidak bisa melakukan eksekusi saham dengan berpegangan pada penetapan pengadilan.

Setelah dinyatakan wanprestasi, pengadilan akan menghukum debitor. Nah, pembayarannya itu tidak harus dengan saham, bisa yang lain. Tapi dalam hal debitor hanya memiliki saham, maka saham itu yang harus dijual, tuturnya kepada hukumonline (12/3).

Tapi kalau pemegang gadai (debitor, red) itu setuju untuk dijual tidak masalah. Karena itu namanya damai. Jadi begitu dia wanprestasi kemudian dia (debitor, red) mengatakan jual saja saham saya, itu bisa. Dan penjualannya tidak harus melalui lelang, tapi kalau mau melalui lelang juga tidak masalah, demikian Harifin.

Sebagaimana diberitakan hukumonline sebelumnya (8/3) praktek eksekusi gadai saham kembali menuai sengketa. Adalah eksekusi saham PT Swabara Mining Energy dan satu perusahaan lain secara privat oleh Deutsche Bank yang menjadi pemicunya. Menurut Becket Pte, pemegang saham Swabara, eksekusi gadai saham tak bisa dilakukan secara privat, harus dilakukan melalui lelang di muka umum. Namun sebaliknya, pihak Deutsche Bank menyatakan tak ada persoalan dengan penjualan saham yang sebelumnya telah digadaikan itu. Deutsche Bank berpegang pada adanya penetapan pengadilan yang mengizinkan eksekusi saham Swabara.  

Mengenai kesimpangsiuran praktek eksekusi gadai saham ini, praktisi hukum Chandra Hamzah berpendapat  eksekusinya harus melalui lelang. Menurutnya, sesuai doktrin hukum jaminan, penjualan barang jaminan harus dilakukan di muka umum. Hal tersebut dilakukan guna melindungi para kreditor lainnya.

Di dalam KUHPerdata, penjualan di bawah tangan (privat) untuk gadai saham harus berdasar persetujuan hakim. Tanpa itu, mekanisme yang ada hanya lelang, terang Chandra kepada hukumonline (10/3). 

Senada dengan Chandra, mantan hakim Pengadilan Tinggi Jakarta yang menolak disebutkan namanya, menyimpulkan ada dua cara eksekusi gadai saham berdasarkan KUHPerdata, yaitu dengan cara lelang atau melalui penjualan di bawah tangan (private selling).

Anak kalimat kecuali diperjanjikan lain itu (Pasal 1155 KUHPerdata, red) berarti, para pihak setuju eksekusi gadai saham melalui parate eksekusi (eksekusi langsung tanpa meminta penetapan pengadilan, red). Namun penjualannya tetap ke kantor lelang. Jadi tidak bisa diartikan, dapat diperjanjikan untuk menjual saham di bawah tangan, jelasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: