Abdullah Puteh Diancam 20 Tahun Penjara
Utama

Abdullah Puteh Diancam 20 Tahun Penjara

Pembelian helikopter MI-2 melanggar aturan pertanggungjawaban keuangan daerah dan pedoman pelaksanaan barang dan jasa.

Gie
Bacaan 2 Menit
Abdullah Puteh Diancam 20 Tahun Penjara
Hukumonline
Persidangan perdana di pengadilan korupsi yang bertempat pada lantai I Gedung Upindo, Kuningan, Jakarta Selatan (27/12) mulai menyidangkan perkara dugaan korupsi Gubernur Nanggroe Aceh Darusallam (NAD), Abdullah Puteh. Persidangan dipimpin Krisna Menon selaku ketua majelis hakim pengadilan korupsi.

Jumlah senilai Rp 9,1 miliar itupun tidak dimasukkan ke dalam perubahan APBD NAD. Melihat hal ini, JPU berpendapat hal tersebut bertentangan dengan mekanisme dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang diatur dalam PP No.105 Tahun 2002 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Bukan itu saja, Puteh pernah memerintahkan kepala kas daerah untuk memasukkan dana sebesar Rp4 miliar ke dalam rekening pribadinya di Bank Bukopin Jakarta.

Sementara itu, dalam surat  perjanjian jual beli helikopter 26 Juni 2002 disebutkan harga helikopter MI-2 dengan fasilitas kabin VIP dan kaca anti peluru adalah AS$ 1.250.000. Dalam surat perjanjian disebutkan PPM bertindak sebagai agen tunggal. Hal ini dianggap menyalahi Keppres No.18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa karena menunjuk PPM sebagai agen tunggal.

Helikopter MI-2 yang disebut-sebut adalah helikopter baru, nyatanya pada saat dilakukan pemeriksaan fisik yang oleh ahli dari PT Dirgantara Indonesia, bukanlah helikopter yang murni baru. Pasalnya, mesin yang terpasang pada pesawat tersebut ternyata telah memiliki jam terbang.

Demi keamanan

Sementara itu Puteh yang didampingi tim kuasa hukumnya, Juan Felix Tampubolon, OC Kaligis, Muhammad Assegaf membantah dakwaan yang dibacakan JPU.

Puteh yang diberikan kesempatan untuk memberikan jawaban atau eksepsi pribadinya menyatakan dakwaan tersebut tidak dapat dimengerti, tidak runut, tidak tepat dan tidak benar. Menurutnya, JPU telah memberikan kesan pembelian helikopter tersebut adalah hal yang fiktif. Padahal, helikopternya benar-benar ada.

Selain itu, ujar Puteh, helikopter tersebut dibelinya dengan alasan keamanan yang terjadi di NAD dimana masih terjadi pergolakan antara gerakan separatis GAM. Pembelian helikopter tersebut, kata Puteh, juga merupakan program yang sah. Bagaimana mungkin program yang terencana dan diperuntukkan untuk daerah konflik justru disebut perbuatan melawan hukum, ujar Puteh di persidangan.

Persidangan kasus dugaan korupsi Puteh ini akan kembali dilanjutkan Rabu (29/12) mendatang dengan agenda pembacaan eksepsi oleh tim kuasa hukum.

Dakwaan terhadap Puteh dibacakan secara bergantian oleh trio Jaksa Penuntut Umum (JPU) Khaidir Ramli, Wisnu Baroto dan Yessi Esmiralda. Puteh didakwa melanggar pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 ayat (1) huruf a,b ayat (2),(3), Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman maksimal pelanggaran pasal 2 adalah hukuman 20 tahun penjara dengan denda maksimal Rp1 miliar. Untuk dakwan subsidair Puteh didakwa melanggar pasal 3 jo pasal 18 ayat (1) huruf a,b ayat (2) dan (3) UU No.31/1999 jo. UU No.20/2001.

Pada dakwaan primer dijelaskan bahwa Puteh diduga telah memperkaya diri  sendiri maupun orang lain, yaitu Bram Manoppo dan PT Putra Pobiagan Mandiri (PPM) yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 13.687.500.000. Namun jumlah tersebut dikurangi Rp 3,6 miliar yang disetorkan kembali oleh Puteh ke rekening kas daerah. Untuk itu kerugian negara yang diperoleh dari pembelian helikopter MI-2 adalah Rp 10.087.500.000.

Dugaan adanya praktik korupsi berawal ketika Puteh menandatangani Letter of Intent dengan Bram Manoppo--Presdir PPM--untuk membeli helikopter tipe MI-2 dengan fasilitas kabin VIP dan kaca anti peluru. Padahal, belum ada dana yang tersedia dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah NAD.

Dana untuk pembelian helikopter tersebut dikumpulkan dari dana Bantuan Perlakuan Khusus Kabupaten/Kota dimana dana tersebut seharusnya dipergunakan untuk membiayai belanja pegawai dan non pegawai. Untuk pemotongan dana bantuan khusus, 13 kabupaten kota yang ada di NAD dikenai Rp700 juta untuk pembiayaan pembelian helikopter. Sehingga dari pemotongan dana bantuan di 13 kabupaten/kota terkumpul uang sejumlah Rp 9,1 miliar.

Halaman Selanjutnya:
Tags: