Inkonsistensi Putusan PTUN Pembatalan SK Suhartoyo, Majelis Banding Harus Progresif
Terbaru

Inkonsistensi Putusan PTUN Pembatalan SK Suhartoyo, Majelis Banding Harus Progresif

Posisi hakim banding harus mampu melihat persoalan yang mendera MK. Mencari solusi, bukan sekedar menyalahkan absennya aturan tentang mekanisme pemberhentian Ketua atau Wakil Ketua MK.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FHUB), Aan Eko Widiarto. Foto: RES
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FHUB), Aan Eko Widiarto. Foto: RES

Rapat permusyawaratan hakim konstitusi (RPH) non perkara yang berlangsung Rabu (14/08/2024) lalu sepakat mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta No.604/G/2023/PTUN.JKT. Hal itu dikonfirmasi Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono Suroso saat dikonfirmasi.

“Dalam RPH dimaksud menyepakati mengambil sikap untuk menyatakan banding atas Putusan PTUN tersebut sembari MK mempelajari salinan utuh putusannya,” kata Fajar.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FHUB), Aan Eko Widiarto menilai arah putusan PTUN Jakarta itu tidak konsisten alias inkonsistensi dengan kewenangan absolut yang dimiliki peradilan TUN. PTUN mestinya menilai keabsahan dari keputusan TUN, bukan menilai hal lain yang tidak terkait seperti memulihkan harkat dan martabat hakim karena itu ranah etik.

Bahkan dalam putusan itu majelis juga mempersoalkan proses persidangan etik yang digelar Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang salah satu putusannya memecat Anwar Usman dari jabatan Ketua MK. Terkait prosedur pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK yang dipersoalkan Anwar Usman dalam gugatan, Aan melihat majelis hakim PTUN Jakarta tidak menggunakan asas keadilan, tapi lebih pada asas kepastian.

Baca juga:

Dalam perkara ini yang dipersoalkan adalah tidak ada pemberhentian lebih dulu terhadap Anwar Usman sebelum mengangkat Suhartoyo sebagai Ketua MK. Padahal jelas putusan MKMK salah satunya memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK.

“Kenapa secara administrasi tidak ada hitam diatas putih karena memang tidak ada mekanismenya dalam UU,” katanya kepada Hukumonline, Kamis (15/8/2024).

Tags:

Berita Terkait