Mencapai Posisi Puncak sebagai In-House Lawyer
Kolom

Mencapai Posisi Puncak sebagai In-House Lawyer

Enam kiat untuk menjadi in-house lawyer yang memberikan added value bagi perusahaan.

Bacaan 5 Menit
Reza Topobroto. Foto: Istimewa
Reza Topobroto. Foto: Istimewa

“Lawyer in-house ya? Kenapa gak di law firm?”. Pertanyaan ini sering saya terima selama menjadi in-house lawyer. Langsung saya jawab, “7 tahun di law firm sebelum in-house”. Lalu muncul pertanyaan lanjutan. “Kenapa sudah di law firm pindah in-house?”. Saya langsung menyimpulkan yang bertanya tidak paham profesi lawyer. Ternyata benar, karena sebelum dijawab, muncul lagi pertanyaan tambahan, “Kenapa gak kerja di Notaris?”.

Publik yang lebih terekspos dengan lawyer karena kasus litigasi atau proyek korporasi membuat in-house counsel seakan tenggelam. Saya yakin persepsi ini sudah terkikis 15 tahun terakhir. Satu penyebabnya adalah pesatnya perkembangan bisnis. Jenjang karier yang dulunya mentok hanya legal manager di bawah HRD atau CFO berubah menjadi lebih tinggi. In-house lawyer dapat menjulang karier hingga Legal Director. Bahkan, CEO seperti Tony Wenas awalnya staf legal yang mendaki jadi CEO Freeport. Ada lagi di luar negeri sebagai ekspatriat seperti Timmy Trihartama yang bekerja di QPC, Qatar.

Baca juga:

Globalisasi mengubah peta karier yang semula menempatkan tim legal terpisah dari fungsi lain serta di bawah CEO menjadi komando langsung oleh regional counsel di kawasan. Ini saya alami sewaktu menjadi Country Counsel di P&G (2005-2008), Country Legal Head Mondelez (2008-2001), dan Director Legal Affairs Microsoft (2012-2019) yang semuanya langsung di bawah regional counsel Asia Pasifik.

Ada yang berpendapat struktur unit kerja in-house lawyer seperti law firm dalam perusahaan. Ini 100% salah. Justru, in-house lawyer harus bisa memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Jika tidak, posisi independen akan di-challenge. Kalau ditarik ke bawah departemen lain, berisiko hanya dijadikan alat menjustifikasi KPI mereka. Ini tidaklah bijak dalam konteks menjaga standar kepatuhan.

Saya akan berbagi enam kiat untuk menjadi in-house lawyer yang memberikan added value bagi perusahaan. Dalam bahasa Inggris akan mudah diingat dengan singkatan CAPT.ain RULES. Masing-masing adalah Can do Attitude, be Crazy (Innovative), Action, Adaptability, Prioritysetting dan Teamplayer. Bagi saya enam rules ini adalah my captain, my lead.

Can Do Attitude

Ini target revenue… wah kalau soal angka, saya nyerah”. Ini artinya selalu ingin di comfort zone dan tidak berani mengambil risiko. In-house lawyer harus sebaliknya. Jadikanlah rasa takut sebagai tantangan. Konversi kekhawatiran menjadi tantangan, maka sense of urgency akan tumbuh setiap menerima penugasan. Ini bukan berarti melahap semua kerjaan. Ingat bahwa sense of urgency harus diiringi pemahaman pada big picture. Paham dampaknya bagi perusahaan dan manfaatnya bagi performa diri. Jika tidak, akan terjebak pada printilan yang mengasyikkan, yang belum tentu mendapatkan respect dari bisnis.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait