KUHAP Dinilai Belum Sepenuhnya Memberi Pelindungan HAM
Berita

KUHAP Dinilai Belum Sepenuhnya Memberi Pelindungan HAM

Konsiderans KUHAP sangat jelas menjunjung tinggi HAM, tapi norma yang termaktub dalam KUHAP belum sepenuhnya mampu melindungi HAM.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi penegakan hukum. Ilustrator: HGW
Ilustrasi penegakan hukum. Ilustrator: HGW

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan salah satu hal yang paling penting dalam penegakkan hukum. Konsiderans UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebut Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi HAM serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur, Tongat, mengatakan pelindungan HAM secara eksplisit tertuang dalam hukum acara pidana. “Spirit yang ada dalam konsideran itu harusnya menjiwai seluruh norma yang ada dalam KUHAP. Walau semangatnya sudah jelas (melindungi HAM,-red), tapi norma yang ada dalam KUHAP tidak sepenuhnya memberi pelindungan terhadap HAM,” kata Tongat dalam diskusi secara daring bertema Refleksi Akhir Tahun Mahupiki: Perlindungan HAM Dalam Dinamika Hukum Pidana, Selasa (22/12) lalu.

Terkait pelindungan HAM dalam KUHAP, Tongat mencatat ada beberapa hal. Antara lain ada anomali dalam pelindungan HAM di KUHAP misalnya tentang hak-hak korban dalam sistem peradilan pidana. Korban merupakan pihak yang paling menderita dalam tindak pidana, tapi dalam KUHAP harkat dan martabat korban belum diletakkan sesuai mandat konsideransnya. Perhatian lebih banyak diarahkan pada pelaku.

(Baca juga: KUHAP Ikut Melanggengkan Praktik Penyiksaan).

Tongat menyebut jika setiap pasal dalam KUHAP dikaji dapat dikatakan hampir tidak ada yang melindungi korban. Sekalipun ada pasal yang melindungi korban, tapi sifatnya sangat minim dan tidak berimbang dengan pasal yang memberi jaminan pelindungan HAM kepada tersangka atau terdakwa. “Ketentuan yang mengatur hak korban (dalam KUHAP,-red) paling banyak empat pasal, misalnya yang memberi pelindungan terhadap korban seperti pelaporan atau pengaduan, ganti rugi, mengajukan gugatan, menggabungkan kasus perdata dalam pidana,” urainya.

Menurut Tongat posisi korban dalam KUHAP layak dievaluasi. Meskipun ada UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sebagaimana diperbarui dengan UU No.31 Tahun 2014, Tongat berpendapat Undang-Undang ini belum mampu menjamin kesamaan pelindungan terutama jika dibandingkan dengan pelindungan terhadap tersangka atau terdakwa. UU LPSK sudah mengatur pemenuhan hak korban, tapi harus ada syarat yang harus dipenuhi korban sebelum mendapat perlindungan. “Tidak otomatis korban mendapat haknya sebagaimana diatur dalam UU LPSK. Kesamaan perlakuan antara korban dan terdakwa dalam hukum acara masih harus terus diperjuangkan,” usulnya.

Masa Pandemi

Guru Besar Ilmu Pidana FHUI, Harkristuti Harkrisnowo, mencatat dalam merespon pandemi Covid-19 banyak peraturan yang diterbitkan dengan dilandasi prinsip keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi (salus populi suprema lex esto). Penerapan hukum di masa pandemi ini harus digunakan secara hati-hati. HAM menjadi pertaruhan yang mahal baik terkait pemenuhan hak sipol dan ekosob. Kalangan konservatif memandang negara harus turun tangan secara ketat agar kondisi buruk tidak terjadi. Kalangan liberal menilai HAM harus tetap dipertahankan sekalipun dalam kondisi kedaruratan. “Penerapan hukum di masa pandemi harus dilakukan secara hati-hati,” katanya dalam diskusi secara daring bertema Refleksi Akhir Tahun Mahupiki: Perlindungan HAM Dalam Dinamika Hukum Pidana, Selasa (22/12).

(Baca juga: Argumentasi Rasional Penegakan Hukum Pidana Tergerus).

Pelaksanaan pembatasn sosial berskala besar (PSBB) menurut Harkristuti dilaksanakan tergantung cara pandang masing-masing daerah, kesiapan aparat penegak hukum, dan kesadaran masyarakat setempat. Akibatnya muncul disparitas dan diskriminasi dalam pelaksanaan PSBB. Kebijakan ini menyebabkan penggunaan internet meningkat tajam, diiringi dengan munculnya berbagai persoalan di ranah daring seperti penipuan, dan hoax. Bahkan tercatat laporan terhadap kasus penghinaan meningkat pesat. Mengingat perkara penghinaan ini sifatnya subyektif, maka penegakan hukumnya juga beragam.

Harkristuti menekankan penegakkan hukum penting dalam kondisi pandemi. Oleh karena itu dia mengusulkan sedikitnya harus ada ketentuan hukum yang jelas dan tegas serta konsisten dalam implementasinya. Pengambilan kebijakan publik harus dilakukan secara transparan. Pandemi Covid-19 tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak transparan.  Semua keputusan yang diterbitkan harus dapat diakses publik.

Tags:

Berita Terkait