Substansi draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja terus menjadi sorotan publik. RUU yang disusun menggunakan metode omnibus law itu dinilai berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM), khususnya hak informasi dalam penyusunan pasal-pasal sektor ketenagakerjaan, lingkungan, dan media.
“RUU Cipta Kerja sebagai ‘RUU Sapu Jagat’ yang disusun pemerintah berpotensi menggerus hak-hak asasi manusia di sektor buruh, lingkungan dan media,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid di Jakarta, Rabu (5/3/2020).
Usman mengatakan pemerintah mengklaim penyusunan draf RUU Cipta Kerja telah melibatkan belasan serikat buruh sebagai Tim Koordinasi Pembahasan dan Konsultasi Publik substansi bidang ketenagakerjaan. Namun, nyatanya organisasi-organisasi tersebut, termasuk organisasi jurnalis dan media, tidak dilibatkan.
Dia menilai proses penyusunan draf RUU tanpa adanya keterbukaan ke publik justru menggerus hak publik terhadap informasi. Baginya, meniadakan partisipasi masyarakat justru berdampak langsung terhadap kalangan buruh, pegiat lingkungan, dan media. Menurutnya, penyusunan draf RUU Cipta Kerja ini hanya mengedepankan aspirasi petinggi negara dan pengusaha.
“Tidak heran banyak penolakan yang keras dari masyarakat sipil,” bebernya. Baca Juga: Akademisi Ini Kritik Cara Penyusunan RUU Cipta Kerja
RUU usul inisiatif pemerintah ini, kata dia, salah satunya memuat 79 UU dengan 1.203 pasal yang terdampak. Diantaranya, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH); dan UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers. “Nyatanya, tak melibatkan banyak pihak (terdampak, red) dalam perumusannya,” kata dia.
Menurutnya, ketiadaan partisipasi publik dan keterbukaan informasi terhadap RUU Cipta Kerja menunjukan betapa inkonsistensi pemerintah dalam menjamin proses legislasi sesuai hukum internasional. Hukum positif pun menjamin hak publik untuk turut serta dalam urusan pemerintahan.