Ketua Kamar TUN Mahkamah Agung Dikukuhkan Jadi Guru Besar
Berita

Ketua Kamar TUN Mahkamah Agung Dikukuhkan Jadi Guru Besar

Revolusi industri 4.0 membawa perubahan-perubahan pada hukum administrasi negara.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Pidato Pengukuhan Supandi sebagai Guru Besar Tidak Tetap Hukum Administrasi di FH Undip Semarang. Foto: Istimewa/MA
Pidato Pengukuhan Supandi sebagai Guru Besar Tidak Tetap Hukum Administrasi di FH Undip Semarang. Foto: Istimewa/MA

Ketua Kamar Tata Usaha Negara (TUN) Mahkamah Agung, Supandi, dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Hukum Administrasi pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. Pengukuhan berlangsung pada Jum’at (29/11), dihadiri sejumlah petinggi Mahkamah Agung Mahkamah Konstitusi, pejabat pemerintah, dan akademisi.

Supandi diangkat jadi Guru Besar Tidak Tetap Hukum Administrasi Undip berdasarkan SK Menristek Dikti No. 35219/M/KP/2019 tertanggal 15 Oktober 2019. Pengukuhan Supandi menambah daftar panjang hakim agung karir yang mendapatkan status sebagai guru besar ketika masih menjalankan jabatan hakim. Hakim berlatar belakang karir yang berhasil dikukuhkan sebagai profesor antara lain Paulus Effendi Lotulung, HM Hatta Ali, dan M. Saleh.

Supandi dikenal sebagai hakim karir yang menghabiskan banyak karirnya di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ia pernah menjadi Ketua PTUN Jakarta, dan hakim tinggi PTUN Medan. Saat itu, penelitian untuk disertasi Supandi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, membuka mata publik tentang ketidakpatuhan pejabat melaksanakan putusan PTUN.

Dalam pidato pengukuhan, Supandi mengangkat topik: “Modernisasi Peradilan Tata Usaha Negara di Era Revolusi Industri 4.0 untuk Mendorong Kemajuan Peradaban Hukum Indonesia”. Supandi berpandangan bahwa kemajuan teknologi telah mempengaruhi perkembangan hukum administrasi, termasuk lingkungan peradilan TUN.

(Baca juga: Jadi Ketua Kamar MA, Ini Fokus Kerja Supandi dan Solthoni).

Setidaknya ada lima poin penting yang disampaikan Supandi dalam pidato pengukuhannya. Pertama, secara evolutif kewenangan PTUN menjadi sangat luas. Perluasan ini tak lepas dari perkembangan politik hukum nasional, seperti lahirnya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Semula PTUN hanya berwenang menguji Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) atau beschikking, kini berkembang menjadi hampir semua tindak pemerintahan (bestuurshandelingen). Semangat perluasan itu dimaksudkan agar PTUN sebagai pilar negara hukum dapat memberikan perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan yang lebih optimal sesuai dengan perkembangan zaman.

Kedua, pemberian kewenangan yang begitu luas tidak otomatis bermakna bahwa hukum positif yang menjadi alat uji langsung operasional dalam proses penegakannya. Hukum dalam arti law in text book cenderung bersifat statis sedangkan perkembangan masyarakat begitu dinamis. Karena itu, Supandi berpendapat menegakkan hukum hanya menerapkan bunyi undang-undang saja tidak cukup. Teks hukum harus dimaknai sesuai konteks dan kontekstualisasinya agar relevan dengan kebutuhan masyarakat. Dalam konteks ini, pendekatan hukum progresif sangat relevan diterapkan dalam penyelesaian sengketa.

Ketiga, era Revolusi Industri 4.0 membawa konsekuensi pada pelayanan hukum di bidang administrasi negara melalui pemerintahan yang berbasis teknologi informasi (e-government). Untuk mengikuti perkembangan itu pula PTUN telah menerapkan sistem peradilan berbasis elektronik (e-court). Tujuannya bukan saja membuka akses terhadap keadilan dan menerapkan asas peradilan cepat, tetapi juga mengubah mindset para penyelenggara peradilan. “Sehingga berdampak positif pada peningkatan produktivitas penyelesaian perkara”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait