Jelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berupaya melobi Presiden dan DPR untuk mengusulkan aturan larangan pencalonan mantan terpidana korupsi sebagai calon kepala daerah yang akan dituangkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum termasuk mendorong revisi UU No.10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU (UU Pilkada).
“Normanya mau diatur di Peraturan KPU atau UU, substansinya tidak ada yang menolak. Kalau mau dimasukkan dalam UU, saya mendorong agar revisi UU Pilkada bisa dilakukan dengan cepat sebelum pencalonan bisa selesai,” ujar Ketua KPU Arief Budiman di Kompleks Gedung Parlemen Jakarta, Senin (11/11/2019) malam. Baca Juga: Alasan ‘Novum’ Ini, KPU Bakal Larang Mantan Koruptor Ikut Pilkada
Di hari yang sama sebelumnya, Arief bersama jajaran Komisioner KPU lain telah menyampaikan usulan tersebut saat menemui Presiden Joko Widodo dan menyerahkan buku Laporan Pelaksanaan Pemilu 2019 di Istana Negara Jakarta, Senin (11/11/2019).
Arief menerangkan pencalonan pilkada serentak bakal dimulai pada Juni 2020. Menurutnya, KPU dan DPR (Komisi II) sepakat agar dalam perhelatan pilkada ini berupaya mendapat kepala derah yang bersih dan jujur. Karena itu, pihaknya berharap ketika ada kesamaan persepsi dan kesepakatan mengenai larangan mantan terpidana korupsi ikut pilkada secepatnya merevisi UU Pilkada dengan memasukkan pasal larangan eks narapidana korupsi maju dalam pilkada.
“Komisi II memiliki pandangan yang sama dengan KPU tentang perlunya keselarasan peraturan KPU dengan UU di atasnya (UU Pilkada). Ruang kosong dalam UU Pilkada terkait ketiadaan aturan larangan eks napi korupsi maju pilkada perlu diisi.
Dia khawatir jika aturan larangan mantan terpidana korupsi ini hanya dituangkan dalam Peraturan KPU berpotensi diuji materi ke Mahkamah Agung (MA). Berbeda, jika terdapat aturan larangan itu secara tegas dalam UU Pilkada bisa mendapatkan kepala daerah yang benar-benar bersih dari praktik korupsi.
Menurutnya, ada dua alasan mengapa KPU mengusulkan aturan larangan ini. Pertama, dalam beberapa kasus, ada calon kepala daerah dalam pemilihan sebelumnya ditangkap, namun terpilih kembali memenangkan pilkada. Kemudin tokoh tersebut ditahan ketika terpilih, sehingga tidak bisa memimpin jalannya pemerintahan daerah dan posisinya digantikan orang lain. Kasus seperti ini terjadi di Tulung Agung Jawa Timur dan Provinsi Maluku Utara.