3 Mahasiswa Persoalkan Aturan Uang Kuliah Tunggal Hingga ke MA, Bagaimana Hasilnya?
Utama

3 Mahasiswa Persoalkan Aturan Uang Kuliah Tunggal Hingga ke MA, Bagaimana Hasilnya?

Permohonan diterima pada 22 November 2018. Baru diregister pada 2 Januari 2019. Kemenristek Dikti singgung ketentuan advokat sebagai kuasa.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi loket pembayaran uang kuliah tunggal. Ilustrator: HGW
Ilustrasi loket pembayaran uang kuliah tunggal. Ilustrator: HGW

Dua orang mahasiswa UGM Yogyakarta dan satu orang mahasiswa Universitas Andalas Padang mempersoalkan ketentuan Uang Kuliah Tunggal yang diatur dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi No. 39 Tahun 2017 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Andri Setya Nugraha, Arvel Mulia Pratama, dan Ivan Azis Muhammad –ketiga mahasiswa dimaksud—menilai Permenristek Dikti itu bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Mereka menganggap Pasal 8 ayat (1) Permenristek Dikti itu melegitimasi adanya pungutan lain di luar Uang Kuliah Tunggal (UKT) kepada mahasiswa yang masuk melalui seleksi jalur mandiri. Padahal, UU Pendidikan Tinggi tegas-tegas menyatakan pembiayaan studi mahasiswa disesuaikan dengan kemampuan mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak yang membiayai mahasiswa. Ini juga sejalan dengan asas ‘keterjangkauan’ yang disinggung dalam UU Pendidikan Tinggi.

Adanya uang pangkal melalui jalur mandiri, dalam pandangan ketiga mahasiswa, berarti perguruan tinggi tidak mempertimbangkan kemampuan (keuangan) mahasiswa sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (3) UU Pendidikan Tinggi. Biaya kuliah yang ditanggung mahasiswa harus didasarkan pada kemampuan ekonominya, bukan berdasarkan jalur masuk yang diikuti. Mahasiswa yang masuk melalui jalur mandiri langsung dibebani kewajiban biaya kuliah paling tinggi dibandingkan jalur masuk PTN lainnya. Ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan tidak diskriminatif yang diatur dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.

Permenristek Dikti a quo dinilai ketiga mahasiswa tidak beralasan, tidak berkeadilan, dan diskriminatif. Itu sebabnya ketiga mahasiswa tadi mempersoalkan legitimasi kebijakan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi itu ke Mahkamah Agung melalui penggunaan hak uji materiil. Arvel dan kedua temannya mengajukan permohonan pengujian ke Mahkamah Agung pada 20 November 2018, dan dua hari kemudian sudah diterima Mahkamah Agung. Namun, perkara yang mereka ajukan baru diregister pada 2 Januari 2019; lebih dari satu bulan setelah berkas permohonan diterima. Kementerian Riset baru menerima salinan permohonan pada 12 Juni 2019.

Keterlambatan ini, jelas Arvel Mulia Pratama, karena Mahkamah Agung menunda hingga selesainya pengujian UU Pendidikan Tinggi atau UU Sisdiknas di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung harus menghentikan sementara pemeriksaan hak uji materi jika Undang-Undang yang dijadikan rujukan sedang diujikan di Mahkamah Konstitusi.

(Baca juga: MA Tunda Uji Materi Jika Ada Proses Pengujian Undang-Undang.

Kemenristek Dikti menjawab permohonan para mahasiswa dengan mempersoalkan aspek formal dan material. Dari sisi formal, Kemenristek berpendapat Arvel Mulia Pratama tidak berhak menjadi kuasa kedua temannya karena ia bukan seorang advokat. Termohon berpandangan hanya advokat yang berhak menjadi kuasa. Dari sisi material, Kemenristek Dikti berpendapat objek yang dimohonkan uji tidak bertentangan dengan UU Pendidikan Tinggi. Bagi Kemenristek Dikti, apa yang dimohonkan para mahasiswa bukanlah pertentangan norma, melainkan implementasi norma hukum.

Pandangan MA

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan Mahkamah Agung berwenang menguji karena yang dimohonkan ketiga mahasiswa adalah peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Selain itu, para pemohon punya legal standing untuk mengajukan permohonan judicial review karena peraturan a quo berpotensi merugikan ketiga mahasiswa. Identitas para pemohon juga terbukti sebagai mahasiswa. Cuma, majelis tidak mempertimbangkan status bukan advokat yang dipersoalkan Kemenristek Dikti. Majelis hanya mengatakan para pemohon memiliki kualifikasi sebagai orang perorangan untuk mengajukan permohonan uji materi.

Tags:

Berita Terkait