PTUN Diminta Batalkan Proses Penuntunan Sumpah Wakil Ketua MA
Berita

PTUN Diminta Batalkan Proses Penuntunan Sumpah Wakil Ketua MA

Kamis, 8 Juni 2017 besok, putusan gugatan TUN GKR Hemas ini akan dibacakan.

AID
Bacaan 2 Menit
Ketua Kode Inisiatif Veri Junaidi Saat Jumpa Pers di Jakarta, Selasa (6/6). FOTO: AIM
Ketua Kode Inisiatif Veri Junaidi Saat Jumpa Pers di Jakarta, Selasa (6/6). FOTO: AIM
Sidang gugatan penuntunan sumpah atas pimpinan DPD terpilih, ketua DPD Oesman Sapta Odang (OSO) oleh Wakil Ketua MA Suwardi dilayangkan oleh Gusti Kanjeng Ratu Hemas (GKR Hemas) sejak 10 Mei 2017 ke PTUN Jakarta bakal memasuki babak akhir. Dijadwalkan 8 Juni 2017 akan dibacakan putusan atas gugatan pembatalan penuntunan sumpah oleh wakil ketua MA ini.

Ketua Kode Inisiatif Veri Junaidi mendukung permohonan Gusti Kanjeng Ratu Hemas, yang meminta PTUN membatalkan proses penuntunan sumpah pimpinan DPD di bawah kepemimpinan Oesman yang dilakukan oleh Wakil Ketua MA. “Jika tidak, ini akan menjadi preseden buruk bagi badan peradilan Indonesia. Kita juga majelis bisa segera memutus secara independen dan merdeka,” kata Veri di Jakarta, Selasa (7/6/2017).

Bagi Veri, ini saat yang tepat sebenarnya bagi PTUN selaku lembaga peradilan untuk meluruskan proses yang salah terkait penuntutan sumpah pimpinan DPD oleh Wakil Ketua MA demi menjaga marwah kelembagaan peradilan.  “PTUN adalah lembaga independen, sehingga kemudian dalam menyelesaikan kasus terkait atasannya yaitu MA membuat PTUN merasa canggung. Wah, ini atasan kita tidak enak dengan MA, seperti itu tidak boleh,” tutur Veri. (Baca juga: MA: Tak Ada Pelanggaran Etik Wakil Ketua MA)

Ada yang cukup menarik dari sisi hukum administrasi negara bahwa gugatan yang diajukan GKR Hemas bukan mengajukan gugatan pembatalan terhadap SK OSO, tetapi mengajukan terkait penuntunan sumpah Wakil Ketua MA. ”Bila GKR Hemas mengugat SK OSO berarti yang sah kepemimpinanya adalah OSO. Tapi ini tidak yang mereka gugat adalah MA,” tutur dia.

Awal mulanya, GKR hemas mengugat ke MA untuk membatalkan penuntunan sumpah yang dilakukannya. Sebetulnya MA bisa melakukan ini, namun sulit bagi MA. Dalam jangka waktu tertentu yaitu 21 hari tidak ada jawaban dari MA, maka dianggap menolak. Dan penolakan ini yang digugat ke PTUN Jakarta.

Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Khairul Fahmi mengatakan peristiwa ini tantangan baru bagi kekuasaan kehakiman yang dalam Pasal 24 UUD 1945 menegaskan kekuasaan yang mandiri dan merdeka untuk meneggaklan hukum dan keadilan. Makna menegakkan hukum ini tersirat pesan bahwa tidak selembar gambar pun boleh mengintervensi kekuasaan kehakiman.

Menurut Khairul, PTUN jangan mengulangi kesalahan yang kedua kalinya seperti yang dilakukan oleh MA. Ini merupakan tantangan bagi PTUN, apakah akan mengukuhkan kemandirian kehakiman yang sudah dilakukan MA atau membandingkan ke posisi awal mengembalikan marwa MA ke posisi kontitusional yang menghormati dan menjalankan kekuasaan kehakiman yang adil, independen dan merdeka.

“Jangan sampai PTUN memperkuat atau mengukuhkan pelanggaran-pelangaran kemandirian kekuasaan kehakiman yang sudah terjadi. Putusan ini mesti menjadi agenda pengoreksian kesalahan lembaga peradilan yang sudah tidak pada posisinya,” ujar Khairul. (Baca juga: Catatan Asosiasi Pengajar Tata Negara Terkait Kisruh DPD)

Proses yang dilakukan PTUN juga bisa mengembalikan DPD ke posisi awal sebelum adanya konflik dualime kepemimpinan ini terjadi dan kembali pada posisi ketentuan awal. “Sebab, ini masalah besar yang terjadi di internal DPD yang akan merugikan kita sebagai anak bangsa,” ujarnya.

“Hakim TUN harus berfikir secara jernih untuk membuktikan kepada masyarakat Indonesia bahwa negara ini masih berjalan dengan logis dan menggunakan akal sehat,” tutupnya.

Pengajar Tata Negara UIN Yogyakarta Hifdzil Alim mengatakan kepemimpinan ilegal berpengaruh pada anggaran negara. Kepemimpinan yang tidak sah secara umum tindakan anggaran yang dilakukan juga tidak sah. “Lalu sudah berapa banyak anggaran yang dikeluarkan mulai dari 4 April 2017 terpilihnya OSO menjadi ketua,” ujarnya.

OSO pimpin dua lembaga negara
Pengajar STH Jentara Bivitri Susanti mengatakan ini krisis konstitusi dimana ada pimpinan DPD terpilih ketua partai politik dan juga ketua MPR. Negara manapun tidak lazim ada rangkap jabatan yang sedemikian rupa. “Ini lembaga negara dua-duanya MPR dan DPD yang diatur dalam konstitusi. Maka, persoalan konstitusional ini yang harus dipecahkan yang kami sampaikan kepada pimpinan PTUN Jakarta (amicus curiae/sahabat pengadilan),” katanya.

Pengajar Tata Negara UIN Yogyakarta Hifdzil Alim mengatakan ini bukan soal hukum saja tetapi juga politik. Sebab, menjalani dua kekuasaan negara sebagai Wakil Ketua MPR dan Ketua DPD secara politik ini bisa tidak sehat. Karena DPD dan MPR adalah lembaga sendiri-sendiri. Kalau dulu memang lembaga tertinggi MPR, tetapi sekarang semuanya sejajar antar lembaga MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK semuanya sejajar.

Tidak elok rasanya pimpinan lembaga negara juga memimpin lembaga lain. Ini namanya Ultra Parlemen bertentangan dengan sistem ketatanegaraan Indonesia. “Seharusnya Ketua MPR Dzulkifli Hasan bisa mengeluarkan statement terkait dua lembaga negara yang dijabat oleh OSO. “Ini dua lembaga, seharusnya Ketua MPR cukup mengeluarkan statement saja terkait hal ini,” ujarnya..

Jika kemudian Ketua MPR memberhentikan OSO sebagai Wakil MPR, pasti digugat rame-rame juga oleh anggotan karena Ketua Tidak bisa menghentikan itu kecuali melakukan pelanggaran tindak pidana dalam menjalankan fungsinya sebaai lembaga negara. “Nah, yang paling aman dilakukan Ketua MPR cukup berstatemen saja, seperti yang dilakukan Ketua KPK bahwa tidak bisa dua lembaga dipimpin oleh satu orang,” terangnya.

Sebab pula, mungkin alasan versi OSO adalah tidak apa-apa karena pasal dalam UU MD3 hanya disebutkan tidak boleh menjadi ketua Direksi Perusahanaan dan sebagainya. Dan tidak disebutkan bahwa tidak boleh menjadi Ketua Lembaga Negara. “Nah, ini mungkin yang menjadi alasan OSO,” katanya

“Padahal maksud dari UU MD3 tersebut adalah menjadi ketua perusahaan BUMN saja tidak bisa apalagi menjadi ketua lembaga negara. Ini juga diatur oleh Ombudsman tentang rangkap jabatan,” tambahnya.
Tags:

Berita Terkait