Adapun kasus korupsi korporasi yang sukses dibawa ke ‘meja hijau’ adalah PT Giri Jaladhi Wana. Kasus ini ditangani oleh Kejaksaan Negeri Banjarmasin. Berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, PT Giri dihukum membayar denda Rp1,3 miliar dan pidana tambahan berupa penutupan sementara.
Meski sudah ada contoh sukses, nampaknya para aparat penegak hukum masih ragu untuk menerapkan UU Tipikor terhadap korporasi pelaku korupsi. UU Tipikor yang tidak mengatur secara jelas mengenai tata cara penanganan perkara tindak pidana korupsi oleh korporasi disebut-sebut sebagai ‘biang keladi’.
Selain itu, kesulitan pembuktian, serta ketidakjelasan batasan antara pertanggungjawaban pengurus korporasi selaku personal dengan pertanggungjawaban pengurus korporasi yang bertindak atas nama dan kepentingan korporasi juga disebut menimbulkan keraguan bagi kalangan aparat penegak hukum. (Baca Juga: Kisah di Balik Terbitnya PERMA Kejahatan Korporasi)
Alhasil, cara lain pun ditempuh untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dalam kasus korupsi. KPK dan Kejaksaan tercatat pernah beberapa kali mencoba menyisipkan pertanggungjawaban korporasi dalam surat tuntutannya, meski surat tuntutan itu ditujukan kepada terdakwa perorangan.
Walau melalui perjalanan berliku, upaya tersebut beberapa kali membuahkan hasil hingga putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht), tetapi ada pula yang ditolak majelis hakim. Alasan majelis hakim tak lain karena korporasi yang dimintakan pertanggungjawaban pidana tidak dijadikan subjek dalam surat dakwaan.
Setidaknya, Hukumonline mencatat enam perkara korupsi perorangan yang pernah diupayakan KPK maupun Kejaksaan untuk menarik pertanggungjawaban korporasi dengan menuntut pembayaran uang pengganti atau perampasan aset hasil kejahatan yang dinikmati korporasi. Berikut daftarnya :
1. Kasus Chevron
Kejaksaan Agung (Kejagung) sempat menjadi sorotan saat menyidik kasus korupsi bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI). Selain karena menyeret nama perusahaan asal Amerika Serikat, jumlah kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan korupsi tersebut terbilang fantastis, yakni AS$9,9 juta.
Kala itu, Kejaksaan mendakwa sejumlah karyawan PT CPI, serta Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI) Ricksy Prematury dan Direktur PT Sumigita Jaya (SJ) Herland bin Ompo yang merupakan rekanan PT CPI melakukan korupsi dalam pekerjaan pemulihan tanah terkontaminasi minyak dengan metode bioremediasi.
Pengadilan Tipikor Jakarta pun menyatakan sejumlah karyawan PT CPI, Ricksy, dan Herland terbukti bersalah. Bahkan, meski terdakwanya adalah direksi korporasi, majelis hakim mengabulkan tuntutan Kejaksaan untuk menghukum PT GPI dan PT SJ membayar uang pengganti, masing-masing sebesar AS$3,089 juta dan AS$6,9 juta.
Namun, putusan pengadilan tingkat pertama itu dikoreksi oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Majelis banding berpendapat, Ricksy tidak terbukti menikmati uang hasil korupsi, sehingga uang pengganti yang semula dibebankan kepada PT GPI dipandang tidak beralasan karena PT GPI merupakan korporasi dan tidak didakwakan dalam perkara ini.
Pertimbangan serupa juga disampaikan oleh majelis banding yang mengadili perkara Herland. Alhasil, PT SJ dibebaskan pula dari pembayaran uang pengganti AS$6,9 juta. Keberatan dengan putusan banding, Kejaksaan langsung mengajukan kasasi. Dalam putusannya, majelis kasasi kembali membatalkan putusan banding. (Baca Juga: Chevron Kritik Kepastian Hukum di Indonesia)
Majelis kasasi berpendapat, perbuatan Ricksy dan Herland dilakukan untuk dan atas nama korporasi, serta dimaksudkan untuk memberikan keuntungan bagi PT GPI dan PT SJ. Selain itu, Ricksy dan Herland juga bertindak untuk kepentingan korporasi, sehingga majelis berpandangan, PT GPI dan PT SJ juga harus ikut bertanggung jawab.
“Maka, dengan demikian, dipandang adil beralasan menurut hukum bila PT Green Planet Indonesia yang harus dibebani membayar uang pengganti untuk ikut bertanggung jawab,” demikian pertimbangan majelis kasasi perkara Ricksy. Setali tiga uang, putusan kasasi Herland juga kembali menghukum PT SJ membayar uang pengganti.
Sayang, pada akhirnya kedua putusan ini tidak dapat dieksekusi oleh Kejaksaan. Sebab, Ricksy dan Herland mengajukan upaya peninjauan kembali (PK). Keduanya diputus bebas oleh majelis PK. Putusan Ricksy dan Herland tersebut juga dijadikan alasan bagi para terdakwa lain untuk mengajukan upaya PK.
2. Kasus IM2
Selain Chevron, kasus korupsi penyalahgunaan jaringan frekuensi 2,1 Ghz/3G (third generation) milik PT Indosat Tbk oleh PT Indosat Mega Media (IM2) ini juga sempat menjadi sorotan. Kala itu, Kejagung mendakwa mantan Direktur Utama PT IM2 Indar Atmanto atas perbuatan korupsi yang merugikan negara Rp1,358 triliun.
Perjalanan kasus ini cukup berliku. Pada awalnya, Pengadilan Tipikor Jakarta mengabulkan tuntutan Kejaksaan yang meminta majelis hakim untuk turut menghukum PT IM2 untuk membayar uang pengganti sebesar Rp1,358 triliun. Akan tetapi, putusan pengadilan tingkat pertama tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. (Baca Juga: IM2 ‘Lolos’ dari Pidana Uang Pengganti)
Alasannya sama, yaitu uang pengganti yang dibebankan kepada PT IM2 tidak beralasan hukum karena PT IM2 adalah korporasi dan tidak didakwakan dalam perkara ini. Namun, putusan banding ini dikoreksi majelis kasasi dengan kembali mengenakan uang pengganti Rp1,358 triliun kepada PT IM2. Indar sempat mengajukan PK, tetapi ditolak MA.
3. Kasus Century
Dalam kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp7,4 triliun ini, KPK baru ‘menyeret’ seorang terdakwa ke muka persidangan. Terdakwa dimaksud adalah mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Bidang IV Pengelolaan Devisa dan Moneter Budi Mulya yang kini putusannya telah berkekuatan hukum tetap.
Budi Mulya didakwa melakukan tindak pidana korupsi terkait pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan PT Bank Century Tbk sebagai bank gagal berdampak sistemik. Dalam surat tuntutan yang ditujukan bagi Budi Mulya, KPK mencoba menyisipkan pertanggungjawaban pihak lain, termasuk korporasi Bank Century. (Baca Juga: Terbukti Beriktiad Buruk, Budi Mulya Divonis 10 Tahun Penjara)
KPK meminta majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta mengabulkan tuntutan pidana tambahan bagi Bank Century yang sekarang telah berganti nama dengan PT Bank Mutiara Tbk untuk membayar uang pengganti sebesar Rp1,581 triliun. Namun, majelis tidak mengabulkan tuntutan tersebut.
Majelis menilai tuntutan uang pengganti Rp1,581 triliun kepada Bank Mutiara tidak relevan karena uang pengganti tidak dapat dibebankan kepada pihak yang tidak dijadikan sebagai terdakwa. Tak puas dengan putusan itu, KPK mengajukan banding. Namun, upaya KPK kandas di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
“Oleh karena pemidanaan, termasuk pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti hanya dapat dijatuhkan kepada orang yang menjadi terdakwa, maka sudah tepat putusan majelis hakim tingkat pertama yang menolak penjatuhan pidana tambahan kepada selain terdakwa,” demikian pertimbangan majelis banding.
KPK pun mengajukan kasasi ke MA. Meski kasasi KPK diterima, majelis kasasi, dalam amar putusannya tetap tidak mencantumkan uang pengganti untuk Bank Mutiara dan tiga bekas pemegang saham pengendali Bank Century. Majelis kasasi hanya mengoreksi sebatas berat pidana penjara dan denda yang dijatuhkan kepada Budi Mulya.
4. Kasus Korupsi Proyek PLN Jawa Timur
Kasus ini merupakan salah satu contoh sukses KPK dalam menyisipkan pertanggungjawaban korporasi. Ketika itu, KPK mendakwa mantan Komisaris PT Altelindo Karya Mandiri, R Saleh Abdul Malik dalam kasus korupsi proyek Customer Management Service (CMS) Perusahaan Listrik Negara (PLN) Jawa Timur. (Baca Juga: Tuntutan Hukuman Penjara Bagi Rekanan PLN Jawa Timur)
PT Altelindo Karya Mandiri bersama PT Arti Duta Aneka Usaha merupakan rekanan dalam proyek sistem manajemen pelanggan (Customer Management System/CMS) yang didanai menggunakan anggaran pos biaya administrasi Anggaran PLN Disjatim periode 2004-2007. Akibat perbuatan korupsi tersebut, negara dirugikan hingga Rp175 miliar.
Beruntung, dalam putusan Pengadilan Tipikor No.2/Pid.B/TPK/PN.Jkt.Pst tanggal 25 Mei 2010 atas nama terdakwa Saleh Abdul Malik dkk yang kini telah berkekuatan hukum tetap, majelis hakim mengabulkan tuntutan uang pengganti terhadap PT Altelindo Karya Mandiri dan PT Arti Duta Aneka Usaha, masing-masing Rp47,101 miliar dan Rp15,052 miliar.
5. Kasus Bupati Pelalawan
Kasus Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaafar yang terbukti melakukan korupsi dalam pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman (IUPHHKHT) kepada 15 perusahaan, sehingga merugikan negara hingga Rp1,2 triliun ini juga menjadi salah satu contoh sukses KPK menarik pertanggungjawaban korporasi. (Baca Juga: Bupati Pelalawan Diduga Korupsi dengan RAPP)
Meski bukan dalam bentuk uang pengganti, setidaknya KPK berhasil melakukan perampasan aset-aset korporsi. Majelis hakim dalam putusan No.12/PID/TPK/2008/PT.DKI tanggal 06 Januari 2009 atas nama terdakwa Tengku, memerintahkan perampasan barang-barang hasil korupsi berupa kayu-kayu yang berada di bawah penguasaan 15 perusahaan.
No | Perusahaan | Nilai (miliar) | No | Perusahaan | Nilai (miliar) |
1 | PT Madukoro | Rp 124,033 | 9 | PT Rimba Mutiara Permai | Rp106,798 |
2 | CV Harapan Jaya | Rp 65,371 | 10 | PT Uniseraya | Rp19,842 |
3 | CV Alam Lestari | Rp 87,737 | 11 | PT Selaras Abadi Utama | Rp309,958 |
4 | PT Mitra Hutani Jaya | Rp 61,265 | 12 | PT Merbau Palalawan Lestari | Rp77,521 |
5 | PT Satria Perkasa Agung | Rp 40,517 | 13 | CV Mutiara Lestari | Rp5,776 |
6 | PT Trio Mas FDI | Rp26,262 | 14 | PT Putri Lindung Bulan | Rp49,021 |
7 | CV Bhakti Praja Mulia | Rp66,442 | 15 | CV Tuah Negeri | Rp25,908 |
8 | PT Mitra Tani Nusa Sejati | Rp142,167 | Total | Rp1,208 triliun |
6. Kasus Korupsi Direktur Utama Kimia Farma
Mantan Direktur Utama PT Kimia Farma Tbk, Gunawan Pranoto dan Direktur Utama PT Rifa Jaya Mula, Rinaldi Yusufdivonis bersalah dalam kasus korupsi korupsi proyek alat kesehatan dan perbaikan rumah sakit di Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada Departemen Kesehatan tahun 2003 yang mengakibatkan kerugian negara Rp104,4 miliar.
Berdasarkan putusan MA No. 2127K/Pid.Sus/2010 tanggal 13 Januari 2011 atas nama Terdakwa Gunawan Pranoto dan Rinaldi Yusuf, majelis memerintahkan perampasan keuntungan sebesar Rp37,279 miliar yang diperoleh PT Kimia Farma Trading and Distribution dari tindak pidana korupsi dalam perkara ini untuk dikembalikan ke negara. (Baca Juga: Mantan Komisaris PT Kimia Farma Divonis 5 Tahun)
Ya, semoga dengan PERMA No.13 Tahun 2016, KPK dan Kejaksaan tidak lagi sekadar menyisipkan pertanggungjawaban korporasi dalam surat tuntutan, tetapi benar-benar mendudukan korporasi sebagai terdakwa. Sebab, PERMA ini memang dibuat sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum dalam penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh korporasi. (Baca Juga: UU Ini Kerap Dipakai Aparat dalam Menjerat Korporasi)