Transparansi Pengadaan Alutsista Penting, Begini Saran Koalisi Masyarakat Sipil
Berita

Transparansi Pengadaan Alutsista Penting, Begini Saran Koalisi Masyarakat Sipil

Sebagai upaya penguatan pertahanan Indonesia di tengah anggaran yang terbatas.

ADY
Bacaan 2 Menit
Transparansi Pengadaan Alutsista Penting, Begini Saran Koalisi Masyarakat Sipil
Hukumonline
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan mendesak pemerintah mengusut tuntas dugaan penyimpangan pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista).

Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, mengatakan beberapa waktu lalu Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta menjatuhkan vonis penjara seumur hidup kepada mantan Kapala Bidang Pelaksana Pembiayaan Kementerian Pertahanan 2010-2014, Birgadir Jenderal Teddy Hernayadi, karena terbukti melakukan pidana korupsi senilai 12 juta dollar AS. (Baca juga: UU Industri Pertahanan Dorong Perusahaan Lokal Memproduksi Alutsista).

Menurut Al kasus itu menunjukkan adanya praktik penyelewengan dalam pengadaan alutsista. Namun selama ini pemerintah dinilai tidak serius melakukan pencegahan dan penindakan. Padahal beberapa tahun lalu Koalisi sudah melaporkan adanya dugaan penyelewengan dalam sejumlah pengadaan alutsista seperti pesawat Sukhoi dari Rusia pada 2012, rudal MLRS dari Brasil dan tank Leopard ke KPK dan DPR tapi tidak direspon.

Al mengusulkan agar pemerintah terutama Kementerian Pertahanan menggandeng KPK untuk mengusut tuntas penyelewengan pengadaan alutsista. Penyimpangan itu bisa disebabkan banyak hal seperti pengadaan yang melibatkan pihak ketiga atau broker,  atau pembelian alutsista bekas dan spesifikasinya di bawah rata-rata atau tidak seperti yang diinginkan. “Anggaran Pemerintah untuk membeli alutsista itu terbatas, praktik penyimpangan itu harus dicegah,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (05/12).

Penyimpangan dalam pengadaan alutsista itu berdampak buruk terhadap kesiapan alutsista itu sendiri dan keamanan prajurit yang menggunakannya. Selaras itu guna mengusut tuntas praktik penyimpangan tersebut, Al mendesak pemerintah dan DPR untuk merevisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Regulasi yang memberi kekhususan kepada anggota militer itu membuat aparat penegak hukum sipil tidak bisa memproses aparat militer yang diduga melakukan penyelewengan dalam pengadaan alutsista. (Baca juga: Gara-Gara Tak Ada PP, UU Peradilan Militer Digugat).

Al melihat selama ini KPK tidak bisa menangani dugaan kasus korupsi yang melibatkan militer karena terbentur UU Peradilan Militer. Direvisinya UU Peradilan Militer diharapkan mampu membuka ruang bagi lembaga penegak hukum untuk masuk ke ranah militer. Dengan begitu proses hukum bisa dilakukan secara terbuka dan transparan sehingga masyarakat bisa ikut mengawasi. (Baca juga: Revisi UU Peradilan Militer Lebih Penting).

Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo, mengatakan Government Defence Anti Corruption Indeks 2015 yang diterbitkan G-20 bekerjasama dengan Transparency International menempatkan Indonesia dalam kategori D (buruk). Itu menunjukan tingkat korupsi di sektor pertahanan di Indonesia tinggi. Menurut Adnan vonis yang dijatuhkan kepada Brigjen Teddy itu menegaskan hasil survei tersebut.

Praktik korupsi itu membuat strategi pengadaan alutsista Indonesia kacau karena pengadaannya tidak digelar mengacu kebutuhan jangka panjang sistem pertahanan tapi dipengaruhi oleh pihak ketiga atau broker. Adnan mencatat harga alutsista tergolong fantastis seperti pesawat tempur, rudal, dan tank. Tapi anggaran pemerintah terbatas sehingga belum mampu memenuhi kebutuhan minimum pertahanan. Kondisi itu semakin memprihatinkan karena terancam praktik korupsi.

Bagi Adnan putusan yang dijatuhkan kepada Brigjen Teddy itu belum menuntaskan masalah di sektor pengadaan alutsista secara menyeluruh. Menurutnya, proses peradilan yang telah berjalan itu tertutup karena masyarakat baru mengetahui ketika vonis. Sementara proses pemeriksaan, penetapan tersangka dan persidangan yang dilakukan di peradilan militer itu tidak dapat diketahui secara jelas.

Proses hukum itu menurut Adnan harus dilakukan secara transparan. Hal itu bisa terjadi jika prosesnya ditangani oleh institusi sipil seperti KPK. Selaras Al, Adnan mendorong pemerintah dan DPR untuk merevisi UU Peradilan Militer. Revisi itu harus membuka ruang bagi KPK untuk menangani kasus korupsi yang melibatkan militer. “Ini tergantung arah politik Presiden dalam penegakan hukum. Kalau Presiden memberi dukungan, KPK bisa efektif menangani perkara korupsi di institusi Kepolisian dan TNI,” ujarnya.

Adnan berpendapat pertahanan Indonesia tidak akan kuat jika penegakan hukum dalam pengadaan alutsista tidak berjalan baik. Menurutnya tidak ada alasan untuk merahasiakan postur pertahanan sebuah negara. Oleh karenanya pengadaan alutsista harus dilakukan secara terbuka dan pengawasannya melibatkan masyarakat.
Tags: