Tuntutan 10 Tahun: KPK Anggap Rohadi Pelaku Tunggal, Tak Ada Peran Hakim
Berita

Tuntutan 10 Tahun: KPK Anggap Rohadi Pelaku Tunggal, Tak Ada Peran Hakim

Perbuatan Rohadi dianggap telah merendahkan martabat jabatan panitera pengganti sekaligus merusak citra profesi hakim sebagai profesi yang mulia.

NOV
Bacaan 2 Menit
Terdakwa kasus suap perkara hukum yang juga Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara Rohadi menjalani sidang dengan agenda pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (5/9).
Terdakwa kasus suap perkara hukum yang juga Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara Rohadi menjalani sidang dengan agenda pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (5/9).
Penuntut umum KPK Kresno Anto Wibowo meminta majelis hakim untuk menghukum panitera pengganti Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Rohadi dengan pidana penjara selama 10 tahun. "Ditambah dengan pidana denda sebesar Rp500 juta subsidair lima bulan kurungan," katanya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (17/11).

Kresno mengatakan, Rohadi terbukti menerima suap sebesar Rp50 juta dan Rp250 juta dari kakak pedangdut Saipul Jamil melalui pengacara Saipul, Berthanatalia Ruruk Kariman. Uang Rp50 juta dan Rp250 juta itu, masing-masing untuk pengurusan penunjukan majelis hakim dan pengurusan perkara pencabulan Saipul di PN Jakarta Utara.

Untuk perbuatan pertama, Rohadi dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan kesatu primair, Pasal 12 huruf a UU Tipikor. Sementara, untuk perbuatan kedua, penuntut umum menganggap Rohadi lebih tepat dikenakan dengan dakwaan kedua subsidair, Pasal 12 huruf b UU Tipikor.

Artinya, Rohadi merupakan pelaku penerima tunggal dan bukan penerima turut serta sebagaimana dakwaan kedua primair, Pasal 12 huruf c UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kresno beralasan, berdasarkan fakta-fakta di persidangan, ada beberapa unsur dalam dakwaan kedua primair yang tidak terpenuhi.

Dalam uraian dakwaan kedua primair, Rohadi disebut bersama-sama hakim Ifa Sudewi menerima uang Rp250 juta untuk mempengaruhi putusan perkara Saipul. Ifa merupakan ketua majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Saipul. Namun, sesuai fakta persidangan, tidak terbukti adanya kesepakatan dengan Ifa.

Kresno menjelaskan, meski Bertha mengaku menemui Ifa dan Ifa berjanji akan membantu perkara Saipul, Ifa sama sekali tidak pernah membicarakan mengenai uang pengurusan perkara. "Demikian pula, Ifa tidak pernah meminta Bertha agar membicarakan mengenai biaya (uang) untuk pengurusan perkara kepada terdakwa," ujarnya. (Baca Juga: Didakwa Suap Bersama Ketua Majelis, Rohadi Depresi dan Mau Bunuh Diri)

Terlebih lagi, lanjut Kresno, Ifa di persidangan menerangkan tidak mengetahui adanya pengurusan perkara Saipul yang dilakukan oleh Rohadi. Begitu juga dengan Rohadi. Saat memberikan keterangan di persidangan, Rohadi membantah adanya kesepakatan dengan Ifa agar memutus perkara Saipul dengan hukuman ringan.

"Sementara dapat disimpulkan belum ditemukan adanya kesepakatan bersama (opzet) antara hakim Ifa dengan terdakwa dalam menerima imbalan uang dari Bertha untuk mempengaruhi putusan perkara Saipul, sehingga ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penyertaan (deelneming) antara terdakwa dengan Ifa belum terpenuhi," terangnya.

Walau begitu, sambung Kresno, Rohadi terbukti menerima uang Rp250 juta, terlepas dari apakah upaya pengurusan perkara dilakukan seorang diri ataupun bersama-sama. Hanya saja, penerimaan uang dilakukan pada 15 Juni 2016, yaitu satu hari setelah putusan perkara Saipul dibacakan oleh majelis hakim di PN Jakarta Utara.

Mengingat uang diterima setelah putusan, Kresno berpendapat Pasal 12 huruf c UU Tipikor kurang tepat diterapkan kepada Rohadi. Sebab, sesuai pendapat Adami Chazawi dalam bukunya, "Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia", jika sudah diputus, maka pemberian suap tidak berpengaruh lagi terhadap putusan karena putusannya sudah dijatuhkan.

Oleh karena itu, penuntut umum menilai, syarat dalam unsur "mempengaruhi putusan" sebagaimana terkandung dalam Pasal 12 huruf c UU Tipikor tidak terpenuhi. Penuntut umum memandang, sesuai fakta-fakta di persidangan, Pasal 12 huruf b UU Tipikor lah yang lebih tepat untuk diterapkan dalam perkara Rohadi.

Kresno menyatakan, Rohadi selaku penyelenggara negara terbukti menerima uang Rp250 juta dari Samsul yang diserahkan melalui Bertha di depan kampus Universitas 17 Agustus 1945, Sunter, Jakarta Utara pada 15 Juni 2016. Rohadi mengetahui atau paling tidak patut menduga uang itu merupakan imbalan atas "jasanya" dalam pengurusan perkara Saipul.

Meski mengetahui Rohadi bukan panitera pengganti yang menangani perkara Saipul dan mengetahui seorang panitera pengganti tidak mempunyai kewenangan memutus suatu perkara, Bertha tetap memberikan uang kepada Rohadi sebagai imbalan atas jasanya dalam "mengurus" perkara Saipul.

"Sebab, (Bertha) mengetahui bahwa Rohadi adalah panitera pengganti yang telah lama bertugas di PN Jakarta Utara, sehingga diyakini mempunyai kemampuan melakukan 'pengurusan perkara' Saipul, apalagi Bertha merupakan istri dari Karel Tuppu selaku hakim yang pernah bertugas di PN Jakarta Utara bersama-sama dengan terdakwa," tutur Kresno. (Baca Juga: Soal Uang di Mobil Rohadi, KPK Duga Mantan Hakim Tinggi Terlibat)

Kemudian, mengenai barang bukti uang Rp700 juta yang ditemukan KPK di mobil Rohadi saat penangkapan, meski tidak berkaitan dengan perkara ini, penuntut umum berpendapat, masih dijadikan barang bukti dalam perkara lain. Uang yang tersimpan dalam kardus berlogo "Kacang Shanghai" dan bertuliskan "Mr Sarwi" itu mulanya diakui Rohadi sebagai pinjaman dari Sareh Wiyono, mantan Ketua PN Jakarta Utara yang sekarang menjadi anggota DPR.

Belakangan, Rohadi tidak dapat menghadirkan satu pun alat bukti yang menunjukan keabsahan pinjaman tersebut, seperti bukti kuitansi, surat perjanjian, atau menghadirkan Petrus Selestinus selaku orang yang diklaim Rohadi sebagai orang yang meminjamkan uang kepadanya.

Terlebih lagi, menurut Kresno, dalam persidangan terungkap bahwa Rohadi dalam jabatannya selaku panitera pengganti di PN Jakarta Utara juga pernah mengurus beberapa perkara lainnya di luar perkara Saipul. "Fakta hukum ini selain diakui sendiri kebenarannya oleh terdakwa, juga didukung alat bukti keterangan saksi," ujarnya.

Saksi yang dimaksud adalah Edward Zulkarnain selaku penyidik KPK yang melakukan penangkapan (operasi tangkap tangan). Dimana, dalam persidangan, membenarkan adanya perkara lain, yaitu perkara tindak pidana korupsi penerimaan suap atau gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang yang kini sedang dilakukan penyidikannya oleh KPK. (Baca Juga: KPK Sita Mobil Pajero dari Kakak Rohadi, Diduga Hasil Korupsi)

Dengan demikian, penuntut umum menyimpulkan Rohadi terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 12 huruf b UU Tipikor. Adapun hal-hal memberatkan Rohadi, antara lain perbuatan Rohadi telah merendahkan martabat jabatan panitera pengganti sekaligus merusak citra profesi hakim sebagai profesi yang mulia, serta telah menimbulkan dampak negatif berupa ketidakpercayaan masyarakat terhadap wibawa lembaga peradilan.

Atas tuntutan tersebut, Rohadi dan tim pengacaranya akan mengajukan nota pembelaan atau pledoi. "Kami akan mengajukan pembelaan," tandasnya. Majelis hakim yang diketuai Sumpeno memberikan waktu satu minggu bagi pihak Rohadi untuk memperiapkan pledoi. Sumpeno mengagedakan sidang pembacaan pledoi pada pekan depan. 
Tags:

Berita Terkait