Deteksi Jaringan Teroris, BNPT Harus Perbaiki Program Deradikalisasi
Berita

Deteksi Jaringan Teroris, BNPT Harus Perbaiki Program Deradikalisasi

Napi yang sudah keluar dari Lapas kemudian melakukan teror bom kembali menujukan kegagalan program pembinaan dan pengawasan deradikalisasi BNPT.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Polda Metro Jaya menggelar simulasi penanganan tindak pidana terorisme di Jakarta, Kamis (4/2). Latihan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kemampuan anggota kepolisian dalam menangani aksi teror.
Polda Metro Jaya menggelar simulasi penanganan tindak pidana terorisme di Jakarta, Kamis (4/2). Latihan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kemampuan anggota kepolisian dalam menangani aksi teror.
Untuk kesekian kalinya, aksi teror peledakan bom kembali terjadi. Tempat peribadatan Gereja misalnya, acap menjadi sasaran ledakan para kelompok pelaku teroris.  Masih terjadinya aksi teror peledakan bom menunjukan jaringan sel teroris masih aktif di Indonesia. Selain deteksi dan pengejaran, program deradikalisasi yang dilakukan Badan Nasional Penanggulan Terorisme (BNPT) perlu dievaluasi dan diperbaiki.

Ketua Komisi III Bambang Soesatyo mengatakan aksi peledakan bom di halaman Gereja Oikumene Samarinda Kalimantan Timur membuktikan ancaman teroris yang nyata. Meski terus diburu, faktanya sel-sel teroris terus berdiaspora menyebar sedemikian rupa. Aksi di Samarinda memberikan sinyal serangan tak lagi dilakukan pada objek vital di pusat perkotaan. (Baca Juga: Ini Lawyer yang “Berbahaya” menurut Dubes RI untuk Uni Eropa)

Ruang lingkup kelompok teroris nampaknya kian sempit. Sebelumnya, aksi serupa dilakukan di sebuah gereja di Medan. Beruntung, bom gagal meledak. Kelompok terus melancarkan serangannya di daerah-daerah demi melampiaskan amarahnya. “Karena itu, aparat keamanan di semua daerah harus waspada. Pola serangan seperti di Samarinda dan Medan bisa saja dilakukan di daerah lain,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, pelaku ledakan bom Gereja Oikumene merupakan mantan narapidana terkait dengan jaringan bom buku pada 2011 silam serta bom Puspitek di Serpong.

Wakil Ketua Komisi III Desmond Junaedi Mahesa mengatakan pelaku merupakan mantan napi yang telah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Mestinya, pelaku masih dalam pengawasan BNPT. Nah ketika napi kasus terorisme kemudian melakukan peledakan bom kembali menunjukan pengawasan yang dilakukan BNPT gagal.

Dikatakan Desmond, pimpinan gerakan teroris di Poso Santoso awalnya masuk Lapas lantaran kasus perampokan. Namun setelah keluar Lapas, justru menjadi teroris. Menjadi pertanyaan, kata Desmond, pihak yang melakukan pembinaan-pembinaan di Lapas perlu diselidik. Ia khawatir pola yang terjadi justru hanyalah ‘mainan’ semata. Ia menilai terkesan aksi terorisme seolah menjadi lahan project dalam penanggulangan teroris

“Dasarnya sederhana, sebelum ada BNPT, teroris nggak sedahsyat sekarang. Setelah ada lembaga ini kok semakin parah. Kesannya ada project,” kata Politisi Partai Gerindra itu. (Baca Juga: Penyebab Terorisme di Eropa, dari Bullying hingga Salah Ngaji)

Terpisah, Koordinator Kaukus Pancasila Eva Kusuma Sundari berpandangan radikalisme agama menjadi tren gobal yang sudah menjurus bahaya bagi Indonesia. Peristiwa ledakan di halaman Gereja Oikumene Samarinda membuka mata publik bahwa BNPT perlu memperbaiki program deradikalisasi yang jalankan.

Pasalnya, para mantan napi kasus teroris yang merupakan jaringan kelompok radikal kasus bom buku 2011 silam masih merajalela. Eva berpandangan insiden tersebut memunculkan dugaan adanya ketidakefektifan program pembinaan di dalam Lapas. Namun juga, adanya kelemahan daam program pemantauan terhadap mantan napi teroris pasca dibebaskan dari dalam Lapas.

“Di mana harusnya pelaku penyerangan di Gereja Oikumene, Samarinda ini diawasi lebih ketat dikarenakan ia pernah diketahui membawa bendera ISIS di Parepare pada tahun 2014 dan sempat ditahan oleh kepolisian,” katanya.

Anggota Komisi XI DPR itu berpandangan evaluasi mendapat dan menyeluruh terhadap program deradikalisasi perlu dilakukan. Sebab dengan begitu, evaluasi dapat menjadi bahan masukan bagi program pencegahan terorisme yang efektif.  Berdasarkan kajian kaukus Pancasila, diketahui adanya inter relasi antara perilaku intoleransi dengan radikalisme dan terorisme.

Sehingga perlu perbaikan bagi program pencegahan radikalisme. Sedangkan keberadaan intoleransi yang menguat dapat memicu perilaku radikalyang dapat berkembang menjadi tindakan terorisme. Berdasarkan hal tersebut, Kaukus Pancasila menyarankan strategi yang dapat ditempun BNPT dalam memperbaiki program deradikalisasi yakni dengan membangun early warning system terhadap gejala intoleransi terhadap kelompok primordial tertentu.

BNPT kemudian dapat mensosialisasikan secara luas sehingga masyarakat bisa aktif untuk menjadi bagian dalam mekanisme pencegahan terorisme,” pungkas politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Tags:

Berita Terkait