“Saya melihat PKPA yang selama ini adalah PKPA versi yang tidak terstandard,” kata Prof. Jamal Wiwoho saat diwawancarai hukumonline di Semarang, Kamis (20/10). Ia hadir sebagai pembicara dalam Seminar Nasional Hukum Spiritual Pluralis yang diselenggarakan Kedhewa dan Ikatan Sosiologi Hukum Indonesia.
Seperti diberitakan, Pengurus Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Seluruh Indonesia (APPTHI) sedang memohonkan pengujian Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Inilah antara lain payung hukum penyelenggaraan PKPA.
Jamal mengkritik bukan saja waktu pengajaran, tetapi juga muatan kurikulum PKPA yang selama ini diajarkan. Kementerian Ristek dan Dikti, kata Jamal, ingin agar ada penyesuaian dengan Standard Nasional Pendidikan Tinggi. Waktu pengajaran misalnya tidak ada keragaman berapa lama pendidikan khusus profesi advokat diselenggarakan. Ada yang menyediakan waktu 3 bulan, tapi ada juga yang dipaksanakan menjadi seminggu. Belum lagi waktu untuk satu mata kuliah, hanya disediakan dua jam.
Prof. Jamal pernah diminta mengajar tentang merger dan akuisisi mulai dari A sampai Z, dan harus diselesaikan dalam waktu dua jam. “Dapat apa kalau hanya segitu waktunya?,” kata pria kelahiran 8 November 1962 itu.
Dari segi kurikulum, Prof Jamal juga menganggap materi ajar sebagian besar PKPA saat ini sudah ketinggalan zaman dan tak sesuai kebutuhan. Materi yang diajarkan sebagian besar adalah materi yang sudah pernah dipelajari di bangku kuliah S1. Misalnya, hukum acara pidana dan hukum acara perdata.
Organisasi advokat dan penyelenggara PKPA sudah semestinya menyesuaikan materi ajar dengan kebutuhan para advokat sesuai dengan dunia kerja nyata. Apalagi sekarang sudah era di mana advokat bisa menjalankan profesinya lintas negara. “Mestinya ada mata kuliah-mata kuliah yang applicable, yang memang menjadi sasaran manakala seseorang menjadi lawyer,” sarannya. (Baca juga: Menteri Yasonna: Indonesia Masih Kekurangan Pengacara Andal).
Perubahan kurikulum PKPA itu juga berguna untuk melahirkan advokat-advokat yang sangat spesialis. Ada advokat yang benar-benar mendalami kontrak tambang, ada yang spesialis perjanjian perkawinan, ada yang ahli merger dan akuisisi, atau yang punya keahlian khusus di bidang teknik negosiasi. Jamal menunjuk semakin banyaknya pengacara asing yang berpraktik di Indonesia. Tren ini harus disambut dengan meningkatkan profesionalisme advokat Indonesia. Salah satunya lewat PKPA.
Masalah PKPA ini juga mendapat perhatian khusus dari Muhammad Ismak, Ketua DPP Asosiasi Advokat Indonesia. AAI telah melakukan komunikasi dengan Ditjen Dikti untuk menyesuaikan PKPA dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT) yang telah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Perpres No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
Pada September lalu, AAI dan Ditjen Dikti malah menggelar workshop untuk membahas masalah pendidikan profesi advokat. Jamal dan Ismak hadir dalam acara ini.