PN Jaksel Tolak Praperadilan Mantan Menkes Siti Fadilah
Berita

PN Jaksel Tolak Praperadilan Mantan Menkes Siti Fadilah

Surat Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh KPK dinilai sah dan sesuai dengan hukum.

Hasyry Agustin/ANT
Bacaan 2 Menit
Mantan Menkes Siti Fadilah Supari. Foto: RES
Mantan Menkes Siti Fadilah Supari. Foto: RES
Permohonan praperadilan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari ditolak Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (18/10). Hakim Tunggal PN Jaksel, Achmad Rivai, yang memeriksa dan memutus permohonan praperadilan tersebut menilai Surat Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh KPK sah dan sesuai dengan hukum.

"Surat perintah penyidikan yang diterbitkan sudah sah dan sesuai berdasarkan hukum. Atas dasar pertimbangan dari dalil-dalil yang telah disampaikan, pihak Pemohon tidak dapat membuktikan permohonannya sedangkan pihak Termohon bisa membuktikan dalilnya maka berdasarkan hal tersebut permohonan tersebut haruslah ditolak," ujar Hakim Rivai.

Selain itu, hakim menuturkan bahwa pemanggilan Siti langsung sebagai tersangka tanpa sebelumnya dipanggil sebagai saksi sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal tersebut dikarenakan KPK selaku Termohon sudah menetapkan Siti sebagai tersangka berdasarkan dua alat bukti yang cukup, yaitu keterangan saksi dan alat bukti surat.

“Sehingga penetapan Siti sebagai tersangka sah dan tidak bertentangan dengan hukum,” jelas Hakim Rivai.

Menanggapi putusan itu, Achmad Cholidin, kuasa hukum Siti Fadilah menilai hakim tunggal sidang praperadilan tidak komprehensif terkait surat perintah penyidikan (sprindik) penetapan tersangka kepada kliennya. "Hakim hanya melihat sprindik yang diterbitkan KPK pada 2015. Padahal ada juga sprindik yang diterbitkan KPK pada 2014," kata Cholidin usai sidang.

Ia juga menyatakan bahwa soal pertimbangan hakim yang menyatakan termohon telah memeriksa beberapa saksi dinilainya juga tidak berdasar. "Pemeriksaan saksi-saksi baru dilakukan pada Juni dan Mei 2015 sedangkan penetapan tersangka dilakukan 2014," tuturnya.

Artinya, kata Chilidin, bukti yang dimiliki oleh KPK hanya satu, yaitu berdasarkan putusan mantan Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan, Rustam Syarifuddin Pakaya pada 2012.

"Dari bukti-bukti putusan Rustam Pakaya tersebut tidak bisa secara otomatis saksi-saksi yang ada di dalam perkara tersebut langsung bisa dijadikan alat bukti, mereka harus diperiksa lebih dahulu dengan perkara yang dituduhkan kepada Siti Fadilah. nah saksi-saksi tersebut diperiksa setelah adanya sprindik 2014," ujarnya.

Oleh karena itu, kata Cholidin, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2016 soal dua alat bukti permulaan belum dipenuhi oleh KPK.

Sementara itu, KPK meminta Siti Fadilah Supari menghargai putusan hakim yang telah menolak seluruh permohonan praperadilan yang diajukannya. (Baca Juga: KPK Miliki Cukup Bukti Tetapkan Siti Fadilah Sebagai Tersangka)

"Penetapan tersangka dan penyidikan yang dilakukan KPK, menurut hakim praperadilan, sah dan kami menghormati dan menghargai putusan hakim praperadilan, jadi untuk pemohon praperadilan pun hendaknya menghormati dan menghargai putusan praperadilan ini," kata anggota biro hukum KPK, Indah Oktianti.

Seperti diketahui, Siti Fadilah dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 56 ayat 2 KUHP tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Menteri Kesehatan periode 2004-2009 itu dalam dakwaan mantan Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan Rustam Syarifuddin Pakaya disebut mendapat jatah dari hasil korupsi pengadaan Alkes 1 untuk kebutuhan Pusat Penanggulangan Krisis Depkes dari dana Daftar Isian Pelaksana Anggaran (DIPA) Revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun anggaran 2007.

Jatah tersebut berupa Mandiri Traveller Cheque (MTC) senilai Rp 1,275 miliar. "Memang butuh proses yang cukup lama karena ini berkaitan dengan kerugian keuangan negara yang butuh penghitungan cermat," kata Priharsa.

Tags:

Berita Terkait