JPU Singgung Kode Etik Profesi Pengacara Jessica
Berita

JPU Singgung Kode Etik Profesi Pengacara Jessica

Jaksa menilai penasihat hukum menghalalkan segala cara untuk membebaskan Jessica.

FNH
Bacaan 2 Menit
Jessica Kumala Wongso berjalan di ruang sidang PN Jakarta Pusat. Foto: RES
Jessica Kumala Wongso berjalan di ruang sidang PN Jakarta Pusat. Foto: RES
Dalam pembacaan replik di PN Jakarta Pusat, Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus pembunuhan berencana Wayan Mirna Salihin menuding terdakwa dan penasihat hukumnya melakukan aksi teatrikal. Tak hanya itu, penuntut umum menyinggung kode etik yang seharusnya dijunjung tinggi oleh advokat atau penasihat hukum terdakwa.

Penasihat hukum, demikian JPU, seharusnya menunjukkan sikap sportif dalam ‘bertanding’ di persidangan dan menggunakan argumen-argumen hukum yang fair. “Sebagaimana kode etik profesi, sebagai seorang advokat, yang seharusnya dijunjung tinggi oleh penegak hukum, dimana sportivitas kita dalam bertanding dan berargumentasi hukum secara fair”.

JPU juga menyinggung klaim Otto Hasibuan membela terdakwa Jessica Kumala Wongso secara probono, tetapi bisa mendatangkan ahli-ahli dari luar negeri. “Apakah semua itu sudah ditinggalkan oleh penasihat hukum hanya demi memenangkan kasus ini yang katanya tidak mendapatkan bayaran sedikit pun, namun dapat menghadirkan para ahli terkemuka dari luar negeri”.

Otto Hasibuan mengatakan sudah menduga apa yang akan dibacakan jaksa dalam pledoi. Ia malah mempertanyakan tentang replik jaksa, yang nanti akan diulang dalam pembacaan duplik.

Dalam persidangan ke-30 di PN Jakarta Pusat, Senin (17/10) kemarin, tim penuntut umum tak hanya mengulangi keyakinan mereka atas dakwaan dan tuntutan, tetapi juga memberi catatan atas sidang pledoi pekan lalu. Jaksa Meylani, saat membacakan replik, menyebut Jessica dan pengacaranya menyajikan aksi teatrikal. Jessica yang jarang menangis selama puluhan kali sidang terlihat menitikkan air mata saat membacakan pledoi. Sayangnya, lanjut Meylani, air mata terdakwa bukan untuk menyesali kematian sahabatnya, Wayan Mirna Salihin, melainkan sedih atas keadaan yang dialami terdakwa selama ditahan di dalam penjara.

“Di persidangan ini juga aksi teatrikal tidak hanya dilakukan oleh terdakwa saja tetapi juga dihadirkan oleh penasihat hukum,” kata Meylani saat membacakan replik.

JPU mengaku telah membaca pledoi penasihat hukum terdakwa setebal 4000 halaman dengan kertas ukuran A4 dan spasi satu setengah, serta dibacakan selama dua kali sidang. Isinya, menurut JPU, hanya 232 halaman berisi substansi. Sisanya, hanya transkrip dari keterangan ahli beserta lampiran dokumen.

Aksi teatrikal, menurut penuntut umum, adalah upaya penasihat hukum untuk menarik perhatian masyarakat guna mendukung terdakwa, agar pada akhirnya terdakwa dibebaskan. Apa yang sudah dilakukan oleh penasihat hukum, lanjut Meylani, bukanlah untuk mencari kebenaran materiil sebagaimana tujuan dari hukum acara pidana. JPU menilai isi pledoi 4000 halaman spekulatif karena penuh dengan asumsi tanpa dasar dan tuduhan yang tidak jelas. JPU menilai pledoi penasihat hukum terdakwa kering sumber hukum yang bisa membangun argumentasi kuat.

JPU bahkan menilai peldoi itu bisa menimbulkan kesan penasihat hukum seolah awam dalam terminologi hukum, dengan menyamakan pemahaman hukum dengan pemahamam umum yang seringkali berbeda pola pikir dan sudut pandang. “Hal ini sengaja dilakukan penasihat hukum dengan tujuan hanya berusaha untuk mengelabui masyarakat yang sepenuhnya belum paham hukum demi menarik dukungan dan simpati serta rasa kasihan terhadap terdakwa,” ujarnya.

JPU juga menilai kebohongan demi kebohongan diungkapkan dalam pledoi demi menutupi kebohongan Jessica. Dalam persidangan sebelumnya, tim penasehat hukum mempersoalkan lima gram sianida yang menurut penasihat hukum merupakan kebohongan dari penuntut umum karena tak ada satupun orang yang menyatakan hal tersebut. Nyatanya, lima gram sianida dijelaskan ahli toksikologi forensik Nursamran Subandi di muka persidangan. Penasihat hukum turut mengutip keterangan Nursamran dalam pledoi halaman 1618. “Lalu siapakah pembohong sebenarnya?,” ungkap Meylani.

Jaksa juga menyinggung penggunaan rekaman CCTV yang dikritik penasihat hukum saat menghadirkan ahli digital forensik Rismon Sianipar. Dalam keterangannya, penasihat hukum mengklaim rekaman tersebut diperoleh dari empat stasiun televisi secara resmi. Faktanya, Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat mendapatkan informasi dari tiga stasiun televisi yang menyatakan belum pernah menerima permintaan rekaman persidangan secara resmi dari penasihat hukum terdakwa.

Tindakan-tindakan penasihat hukum itu, menurut jaksa, sudah dalam tahap memprihatinkan. Penuntut umum mempertanyakan apakah harus sampai sejauh ini keinginan penasihat hukum untuk memenangkan kliennya, dengan menghalakan segala cara. Apakah harus menutup mata, telinga, dan hati sebagai manusia untuk memenangkan kasus pidana demi membela Jessica.

Penuntut umum mengatakan penegakan hukum menjadi kotor karena dinodai oleh fitnah dan kebohongan di muka persidangan yang ditampilkan penasihat hukum Jessica. Dengan berdalih sebagai pledoi, kesantunan dalam bertutur kata dan menyampaikan pendapat sebagai bangsa Indonesia yang beradab dipertanyakan.

Duplik
Ketua tim penasihat hukum Jessica, Otto Hasibuan, memastikan akan menyampaikan duplik pada persidangan Kamis (20/10) mendatang. Salah satu yang disinggung Otto adalah lima gram sianida. Ia bersikeras lima gram sianida tidak dapat dibuktikan di tengah persidangan.

Menurut Otto, harus ada fakta yang menunjukkan hal tersebut, bukan sekadar teori. “Kalau memang ada lima gram sianida, harus ada fakta atau orang yang melihat Jessica memasukkan lima gram sianida itu. Kita bicara fakta, bukan teori. Nanti akan kami jelaskan di dalam duplik,” kata Otto.
Tags:

Berita Terkait