OTT KPK Dikritik, Memberantas Korupsi Jangan Seperti Razia HP di Lapas
Berita

OTT KPK Dikritik, Memberantas Korupsi Jangan Seperti Razia HP di Lapas

Meski kecil nilai nominal yang dikorupsi, KPK fokus ke jaringan luas orang yang terkena OTT.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Pemberantasan korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharapkan tidak dilakukan secara membabi buta. Seperti halnya razia telepon genggam (Handphone) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), banyak kedapatan menyimpan dan menggunakan alat penghubung tersebut.

“Saya berpikir Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan KPK itu seperti petugas lapas yang merazia HP berulangkali tetap masuk,” ujar anggota Komisi III Muhammad Nasir Djamil dalam rapat kerja dengan KPK di Gedung DPR, Rabu (21/9).

Belakangan memang KPK menjadi sorotan. Pasalnya, KPK mencokok Ketua DPD non aktif Irman Gusman yang diduga menerima suap sebesar Rp100 juta kasus kuota gula impor Bulog. Mestinya, KPK fokus pada penanganan kasus korupsi yang berpotensi merugikan keuangan negara yang nilainya RP1 miliar ke atas.

Namun meski demikian, pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK tak juga menimbulkan efek jera. Ironisnya, kian banyak mafia yang terus menggerogoti keuangan negara. Ia meminta KPK melakukan evaluasi mendalam agar memperkecil tingkat korupsi yang sudah kian kronis.

“Pertanyaannya, kenapa Handphone tetap masuk, sama seperti tingkat korupsi. Soal OTT ini jangan sampai seperti razia HP saja,” ujar politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu. (Baca Juga: KPK: Untuk Tersangka OTT, Jarang Ada Penangguhan Penahanan)

Ketua KPK Agus Rahardjo menampik pemberantasan korupsi seperti halnya razia telepon genggam. Menurutnya, OTT yang dilakukan KPK tak pernah menyasar siapapun, apalagi manarget seseorang. Pasalnya, penyadapan yang dilakukan KPK dilakukan setelah mendapatkan laporan dari masyarakat.

Kasus Irman Gusman, misalnya. KPK tak pernah menarget Irman. Meski mendapat laporan masyarakat, tidak berarti KPK menelan mentah-mentah laporan masyarakat. Penyidik melakukan pengumpulan bahan keterangan (Pulbaket) terebih dahulu. Setelah itu, dilakukannya penyelidikan. Di tahap penyelidikan itulah dilakukan penyadapan.

Ketika dilakukan penyadapan, memang dimungkinkan dilakukan OTT. Penyelidikan terhadap kasus yang menjerat Irman pun dilakukan sejak bulan Juni lalu. ”KPK tidak pernah menargetkan. Kalau indikasinya kuat, kita keluarkan surat perintah penyelidikan, seperti kasus kemarin (Irman, red) kita mulai dari Juni,” ujarnya.

Berdasarkan data yang dikantongi KPK, setidaknya sepanjang 2016 KPK hanya menangani 99 kasus perkara korupsi. Agus merinci, dari 99 kasus korupsi, 12 diantaranya dilakukan secara OTT. Artinya, perkara korupsi yang dilakukan secara OTT tidaklah banyak.

Hanya saja pengembangan kasus korupsi OTT, turunan anak kasusnya terbilang banyak. Sedikitnya, terdapat 41 anak kasus berdasarkan pengembangan penyidik KPK dari 12 kasus hasil OTT. Dengan demikian, kata Agus, KPK tidak serta merta mengutamakan penanganan kasus korupsi dengan menggunakan cara OTT.

“Tetapi pengembangan kasus lain kita juga perhatikan,” ujarnya. (Baca Juga: Komisi III Heran KPK Antusias Tangani Kasus Suap Rp100 Juta)

Wakil Ketua KPK Muhammad Laode Syarif menambahkan, lembaganya belakangan dikeluhkan lantaran menangani kasus korupsi yang nilainya kecil. Misalnya, kasus Irman maupun panitera Pengadilan Jakarta Pusat. Menurutnya, Ketua KPK Agus Rahardjo pernah ditertawakan mantan Menko Kematiriman Rizal Ramli dalam sebuah diskusi.

“Karena KPK hanya menangani kasus korupsi yang nilainya Rp250 juta. Itu tangkapan Polsek,” ujarnya.

Meski kecil nilainya, jaringan oknum panitera PN Jakpus itu terbilang luas. Terlebih, ukuran seorang panitera memiliki kendaraan roda empat sebanyak 16 unit, rumah sakit, waterboom. “Tapi yang penting, meski orang kecil tapi networknya luar biasa. Walau pun kecil, ada daun, ranting, tapi pohonnya bisa ketebang, tapi memang sulit butuh dua alat bukti yang cukup,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait