Soal Kasus Ongen, Ini Kata Peneliti ICJR
Berita

Soal Kasus Ongen, Ini Kata Peneliti ICJR

Jaksa yang memaksa Ongen tanda tangan BAP bisa dipidana. Pemaksaan untuk menandatangani BAP merupakan pelanggaran pidana.

KAR
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Terdakwa kasus penghinaan Presiden, Yulian Paonganan alias Ongen dikabarkan mendapat pemaksaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sangaji. Ia dipaksa untuk menandatangani berita acara penahanan (BAP)-nya terhitung mundur. Untuk diketahui, Ongen ditahan sejak ditetapkan sebagai tersangka tanggal 31 Maret hingga 29 April lalu. Akan tetapi, Sangaji memaksa Ongen menandatangai berita acara yang menyebut dirinya ditahan mulai tanggal 1 April.

Menurut Peneliti lembaga kajian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju, perilaku JPU memaksa Ongen menandatangani BAP bukan hanya sekadar pelanggaran etika. Anggara mengingatkan, pemaksaan merupakan salah satu tindak pidana yang dilarang di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP). Dengan demikian, JPU tersebut jika terbukti, tidak hanya harus diganjar sanksi etika tetapi juga bisa mendapatkan sanksi pidana.

“KUHP melarang orang untuk melakukan tindakan mengancam. Kalau JPU itu terbukti mengancam, maka berarti dia juga telah melakukan pelanggaran pidana,” jelas Anggara kepada hukumonline di Jakarta, Senin (25/4).

Lebih lanjut Anggara menjelaskan, pada dasarnya BAP tidak memerlukan tanda tangan orang yang ditahan. Pasalnya, di dalam KUHAP diatur bahwa jika orang yang ditahan menolak penahanan tersebut maka yang bersangkutan diperbolehkan untuk tidak menandatangani BAP. Akan tetapi, aparat penegak hukum harus memberikan keterangan yang menjelaskan mengapa orang itu tidak mau tanda tangan.

“Dengan demikian, JPU tidak perlu memaksa orang untuk melakukan tanda tangan BAP. Kalau dia memaksa ya berarti dia lupa aturan KUHAP,” tandas Anggara.

Kendati demikian, Anggara menengarai ada motif yang mendorong JPU tersebut melakukan pemaksaan tanda tangan terhadap BAP yang dimundurkan waktunya. Anggara menjelaskan, di dalam UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) diatur bahwa penahanan pada masa penyidikan harus atas izin ketua pengadilan negeri. Sementara itu, dalam beberapa kasus pelanggaran UU ITE sebelumnya ditemukan bahwa penahanan saat penyidikan dilakukan tidak atas izin kepala pengadilan negeri.

Penerbitan izin untuk penahanan pada masa penyidikan dalam perkara pelanggaran UU ITE, menurut Anggara hanya sebatas administrasi. Padahal, seharusnya perizinan tersebut bersifat substantif. Artinya, tersangka di bawa ke muka pengadilan untuk diperiksa apakah yang bersangkutan diizinkan untuk ditahan atau tidak.

Dirinya mengakui, di dalam KUHAP perizinan penahanan memang belum diatur. Sehingga, dalam perkara-perkara di luar pelanggaran UU ITE masalah ini tidak mencuat. Namun ia mengingatkan, KUHAP telah lahir sejak lama dan belum diperbaharui hingga kini.

“Masa mau menyita barang saja harus ada izin, sementara menahan manusia tidak perlu? Soal izin ini sangat penting sebetulnya,” katanya.

Anggara melihat ada indikasi bahwa izin pengadilan negeri baru keluar setelah Ongen ditahan beberapa hari. Artinya, masa penahanan Ongen sebelum keluarnya izin tersebut menjadi batal demi hukum. Sehingga, menimbulkan hak bagi Ongen untuk menuntut ganti rugi.

“Misalkan saja dia ditahan sejak tanggal 29 Maret tetap izin baru keluar tanggal 1 April. Artinya, tiga hari penahanan Ongen sebelum izin itu terbit menjadi batal demi hukum. Ia bisa menuntut ganti kerugian atas hal itu,” jelas Anggara.

Akan tetapi, masa penahanan sejak tanggal izin terbit menurut Anggara tetap dihitung sah. Meskipun, Anggara mengatakan hal itu juga menjadi pertanyaan apakah alasan penahanannya masih tetap relevan. Sehingga, ia menilai justru alasan penahanan terhadap tersangka menjadi tidak ada.

Ia pun mengingatkan agar Ongen memeriksa kembali izin dari ketua pengadilan negeri atas penahanan terhadap dirinya. Apakah ada atau tidak. Kemudian, sejak tanggal berapa penahanannya diizinkan.

“Memang, masalah batalnya penahanan ini tidak berdampak pada substansi perkara Ongen. Artinya, proses hukum tetap berlanjut. Akan tetapi, Ongen menjadi punya hak untuk menuntut ganti rugi atas masa penahanannya yang tidak sah,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait