Tata Kelola Aset Kejahatan di Indonesia Perlu Direformasi
Aktual

Tata Kelola Aset Kejahatan di Indonesia Perlu Direformasi

RFQ
Bacaan 2 Menit
Tata Kelola Aset Kejahatan di Indonesia Perlu Direformasi
Hukumonline
Carut marutnya pengelolaan aset hasil kejahatan berpotensi merugikan negara ratusan miliar rupiah. Persoalan pengelolaan aset hasil kejahatan mengemuka ketika oknum penegak hukum ditengarai ‘bermain mata’ demi keuntungan pribadi atas benda-benda sitaan dengan mengambil alih manajemen benda sitaan.

“Sudah saatnya pemerintah Jokowi mengatur ulang pengelolaan benda sitaan dan aset kejahatan dengan mendorong RUU Pengelolaan Aset Kejahatan yang komprehensif,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Criminal for Justice Reform (IJCR) Supriyadi W Eddyono di Jakarta, Selasa (19/4).

Supri berpandangan banyaknya oknum penegak hukum yang diuntungkan dengan kondisi carut marutnya pengelolaan benda sitaan dan aset hasil kejahatan. Oleh karena itu, pemerintah mesti segera bersikap dengan melakukan reformasi tata kelola aset kejahatan di Indonesia. Setidaknya, ICJR mencatat terdapat empat hal yang mesti dibenahi.

Pertama, lemahnya pengaturan pengelolaan benda sitan dan aset hasil kejahatan yang dijalankan tidak melalui satu pintu. Akibatnya, masing-masing institusi merasa berhak mengelola dan mengeksekusi hasil sitaan. Selain itu, minimnya sanksi dan pengawasan yang longgar memperburuk pengelolaan aset benda sitaan. “Dalam konteks ini benda sitaan dan aset kejahatan sangat rentan di korupsi,” ujarnya.

Kedua, meskipun terdapat Rumah Penyimpangan Benda Sitaan Negara (Rupbasan), namun lembaga tersebut minimnya sumber daya. Termasuknya, minimnya anggaran. Rupbasan terkesan ‘dikerdilkan’ mulai tata kelola maupun tata organisasinya. Ironisnya, jumlah Rupbasan hanya sekitar 63 unit di seluruh Indonesia. Akibatnya tidak berbanding lurus dengan jumlah Kejaksaan dan Polres di berbagai daerah.

Ketiga, lantaran tak melalui mekanisme satu pintu, maka berdampak tak ada data resmi yang sesuai fakta terkait dengan jumlah benda sitaan maupun aset hasil kekjahatan. Dengan begitu, berdampak tak pernah didapat proyeksi aset kejahatan yang dapat dirampas oleh negara seara maksimal.

Keempat, jumlah pengelolaan benda sitaan dan aset hasil kejahatan mengakibatkan rusaknya benda-benda tersebut. Tak hanya itu, muncul persoalan terkait melelang benda tersebut yang berpotensi rusak dalam penyimpanan. Selain itu, eksekusi perampasan benda hasil sitaan oleh negara biasanya dinilai rendah. Sehingga, proyeksi pendapatan negara tidak maksimal.

“Oleh karena itulah pemerintah tidak boleh hanya berhenti pada rencana mempersiapkan Rancangan Perpres mengenai pelelangan benda sitaan. Pemerintah harus mendorong tata kelola aset kejahatan yang lebih komprehensif di masa depan,” pungkasnya.

Tags: