Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Lewat Rekonsiliasi Perlu Landasan Hukum
Berita

Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Lewat Rekonsiliasi Perlu Landasan Hukum

Rencana pemerintah menggelar rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu perlu landasan hukum. Aturan yang ada hanya menyediakan mekanisme yudikatif.

ADY
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Pemerintah berencana menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Wakil Ketua Komnas HAM bidang eksternal, Dianto Bachriadi, mengatakan indikasi itu terlihat dari pernyataan Presiden Joko Widodo dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Luhut Binsar Pandjaitan, dalam beberapa kesempatan. Ia mengapresiasi niat baik pemerintah itu, namun harus ada kejelasan mekanisme apa yang akan digunakan untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Dianto menilai mekanisme yang akan ditempuh pemerintah mengarah pada proses rekonsiliasi. Ia mengaku sampai saat ini Komnas HAM tidak mengetahui bagaimana mekanisme rekonsiliasi yang akan dilakukan itu. Menurutnya, ada banyak hal yang patut diperhatikan sebelum melaksanakan rekonsiliasi diantaranya dasar hukum dan implikasinya.

Dianto menegaskan unsur utama rekonsiliasi yaitu pengungkapan kebenaran atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi. Mekanisme rekonsiliasi yang akan digelar pemerintah harus jelas bagaimana pengungkapan kebenaran itu akan dilakukan dan siapa yang akan memfasilitasi. Ia menampik tudingan yang menyebut Komnas HAM yang akan memfasilitasi kegiatan tersebut. Sebab mengacu peraturan yang ada diantaranya UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tugas Komnas HAM dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat yakni melakukan penyelidikan.

Komnas HAM telah melakukan penyelidikan terhadap 7 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Sayangnya, belum ada satu pun hasil penyelidikan itu yang ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung. Dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, Komnas HAM masih mendorong mekanisme yudisial.

“Setiap sidang paripurna Komnas HAM belum pernah mengambil keputusan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lewat mekanisme selain non yudisial, apalagi rekonsiliasi,” kata Dianto kepada wartawan di kantor Komnas HAM di Jakarta, Senin (4/4).

Menurut Dianto, rekonsiliasi akan sia-sia jika dilakukan tanpa diawali proses pengungkapan kebenaran. Sebagai itikad baik sebelum melakukan rekonsiliasi, pemerintah bisa merehabilitasi para korban dan keluarga pelanggaran HAM berat baik itu hak politik, hak-hak keperdataan yang hilang karena selama ini mereka mengalami stigma.

Dianto menegaskan, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu lewat mekanisme non yudisial tidak menghapus penyelesaian lewat jalur yudisial. Apalagi sampai saat ini belum ada dasar hukum yang bisa digunakan untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat melalui metode non yudisial atau rekonsiliasi.

Sesuai pasal 47 UU Pengadilan HAM, dianto menjelaskan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakuknya UU Pengadilan HAM tidak menutut kemungkinan diselesaikan lewat jalur non yudisial yakni oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Pasal 47 ayat (2) mengamanatkan KKR dibentuk lewat UU, sebagaimana diketahui Mahkamah Konstitusi telah membatalkan UU KKR.

Oleh karena itu, Dianto menekankan sampai saat ini belum ada regulasi yang bisa digunakan sebagai dasar digelarnya mekanisme non yudisial atau rekonsiliasi untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu.“Rekonisiliasi atau non yudisial itu harus ada dasar hukumnya, di manapun dasar hukum itu mutlak harus ada karena yang menyelenggarakan itu negara,” tukasnya.

Wakil Koordinator KontraS, Puri Kencana, mengusulkan kepada pemerintah agar kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu diselesaikan lewat jalur yudisial. KontraS menolak rencana pemerintah menggelar rekonsiliasi dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Apalagi pembahasan rencana itu tidak melibatkan korban dan pendampingnya.

KontraS meminta Presiden Joko Widodo mengundang langsung korban dan pendampingnya untuk membahas mekanisme terbaik untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu. Presiden bisa membentuk tim komite kepresidenan yang fungsinya mendorong Komnas HAM melakukan penyelidikan dan Kejaksaan Agung menindaklanjutinya dengan penyidikan dan penuntutan. Tentu saja tim itu berkoordinasi langsung dengan Presiden Joko Widodo, bukan Menkopolhukam.

“Kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu harus diselesaikan lewat jalur hukum, dengan membentuk pengadilan HAM,” kata Puri dalam jumpa pers di kantor KontraS di Jakarta, Kamis (7/4).

Tags:

Berita Terkait