MAKI Tak Akan Persoalkan Putusan Hakim Soal Kasus RS Sumber Waras
Berita

MAKI Tak Akan Persoalkan Putusan Hakim Soal Kasus RS Sumber Waras

Karena ujung-ujungnya, KPK akan tetap memproses kasus Rumah Sakit Sumber Waras.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman. Foto: SGP
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman. Foto: SGP
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI), Boyamin Saiman, selaku pemohon yang mempraperadilankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi atas pembelian tanah Rumah Sakit Sumber Waras mengaku akan menerima apapun keputusan hakim. Menurutnya, pada akhirnya permohonannya tersebut akan terus diproses.

“Diterima atau ditolak hakim sama saja. Ujung-ujungnya tetap diproses kok. Kalau ditolak berarti hakim memaklumi KPK melakukan tindakan dengan kehati-hatiannya. Sedangkan kalau diterima ya kasus ini akan terus diproses,” ujarnya, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (28/3).

Boyamin menjelaskan bahwa korupsi lahan RS Sumber Waras yang dibayar Basuki Tjahya Purnama alias Ahok dievaluasi oleh Mendagri dengan asumsi kurang lengkap administrasi dan kajian. Konsekuensi evaluasi Mendagri maka maksimal 7 hari Gubernur dan DPRD DKI Jakarta harus tindak lanjuti evaluasi dengan melengkapi administrasi dan kajiannya.

“Jika tidak maka kembali kepada APBD murni 2014 yang tidak ada anggaran pembelian lahan RSSW. Sampai saat ini tidak ada evaluasi sehingga pengeluaran uang Rp755 miliar tidak ada dasarnya,” paparnya.

Kemudian menurutnya, dalam APBD disebut dengan jelas pembelian lahan RSSW, namun pelaksanaan pelepasan maka pembayarannya tidak sesuai tujuan dan hasil juga tidak sesuai tujuan sehingga uang yang keluar adalah hangus. Pelepasan harus ada tindakan hukum kedua yaitu pembayaran sejumlah uang untuk permohonan.

“Dengan tidak adanya uang untuk permohonan dari APBD berikutnya maka lahan tersebut tidak akan pernah dimiliki oleh DKI alias menjadi tanah tidak bertuan,” jelas Boyamin.

Menurutnya, proses pengadaan lahan yang belum lengkap administrasi dan teknisnya belum boleh dibayar. Pembayaran terhadap pengadaan barang/jasa padahal belum lengkap administrasi dan teknisnya menimbulkan kerugian negara.

Selain itu, pengadaan lahan belum lengkap administrasi. Pertama, pajak terhutang PBB sejak tahun 1994 belum dibayar oleh RSSW/YKSW. Pajak dibayar setelah mendapat pembayaran dari uang penjualan. Mestinya, kata Boyamin, pajak dibayar dulu baru kemudian dibayarkan uang Rp755 miliar dari DKI kpd YKSW.

Kedua, pemberian Jalan akses dari YKSW kapada DKI sebagai persyaratan belum mendapat izin dari Pembina YKSW dan belum mendapat izin dari Perkumpulan Sin Ming Hui (YAYASAN TJANDRA NAYA). Pelepasan aset yayasan harus terdapat izin dari Pembina, jika tidak maka tidak sah.

“Belum adanya dokumen pemakaian uang hasil penjualan lahan. Uang Rp755 miliar harus sudah ada dokumen peruntukan sesuai tujuan yayasan sosial. Pelepasan aset yayasan berdasar Undang-Undang Yayasan harus jelas peruntukan aset oleh pembeli dan uang yang diterima hasil penjualan juga harus jelas peruntukannya. Hal ini pernah terjadi di Semarang, di mana terdapat 3 Yayasan pelepasan asetnya tidak disahkan BPN karena belum jelas peruntukan aset dan hasil penjualannya,” jelasnya.

Kemudian, belum lengkap secara teknisnya di mana barang (lahan) belum diterima secara utuh karena masih digantungkan waktu 2 tahun kemudian dengan alasan proses transisi asrama perawat dan pemindahan alat-alat. Transaksi ini jika penyerahan 2 tahun kemudian maka pembayaran lunasnya harus 2 tahun kemudian.

“Pembayaran tahun 2014 tidak akan dapat jaminan 2 tahun nanti tanah sudah dikuasai sepenuhnya termasuk sertifikat belum akan atas nama Pemprop DKI. Harusnya pembayaran lunas dilakukan setelah barang diserahkan sepenuhnya (clear and clean). Perjanjian pelepasan lahan tidak mendapat izin dalam akta yang sama oleh Notaris yang sama. Izin pembina terdapat dalam akta Notaris lain yang belum tentu kebenarannya,” ujarnya.

Untuk diketahui bahwa sidang putusan permohonan praperadilan akan dibacakan pada Rabu, 30 Maret 2016.

Tags:

Berita Terkait