DPR Tak Persoalkan Afiliasi Politik Calon Dewas BPJS
Berita

DPR Tak Persoalkan Afiliasi Politik Calon Dewas BPJS

Uji Kelayakan calon Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan menekankan pada kemampuan kandidat.

ADY
Bacaan 2 Menit
Pansel Calon Direksi dan Dewan Pengawas BPJS saat memberikan penjelasan tes makalah kepada para calon. Foto: www.djsn.go.id
Pansel Calon Direksi dan Dewan Pengawas BPJS saat memberikan penjelasan tes makalah kepada para calon. Foto: www.djsn.go.id
Sejak pekan lalu Komisi IX DPR melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon anggota Dewan Pengawas (Dewas) BPJS. DPR telah memilih lima orang Dewas BPJS Kesehatan. Pekan ini DPR melanjutkan dengan menggelar uji kelayakan terhadap 10 orang calon Dewas BPJS Ketenagakerjaan.

Wakil Ketua Komisi IX, Ermalena, mengatakan DPR akan memilih 5 dari 10 orang calon Dewas BPJS Ketenagakerjaan. Mereka terdiri dari 2 perwakilan unsur pekerja/buruh, 2 unsur pemberi kerja dan 1 unsur tokoh masyarakat.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu mengatakan tidak mudah bagi Komisi IX memilih calon Dewas. Sebab 10 orang calon Dewas dinilai punya kemampuan dan keahlian yang terbaik. “Untuk memilih yang terbaik diantara 10 orang itu bukan proses yang mudah bagi Komisi IX,” katanya kepada wartawan di sela proses uji kelayakan calon Dewas BPJS Ketenagakerjaan di DPR, Senin (25/1).

Komisi IX DPR punya parameter dalam memilih calon Dewas BPJS Ketenagakerjaan diantaranya punya kemampuan dan kapasitas memahami masalah terkait BPJS Ketenagakerjaan dan mengerti bagaimana mencari soulsinya. Kerja-kerja Dewas bersinggungan dengan Komisi IX dalam mengawasi pelaksanaan program Jaminan Sosial yang diselenggarakan BPJS khususnya Ketenagakerjaan.

Ermalena menyebut tidak sedikit pengaduan yang disampaikan masyarakat kepada Komisi IX DPR terkait BPJS Ketenagakerjaan. Misalnya, mengenai program Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) BPJS Ketenagakerjaan. Menanggapi pengaduan itu Komisi IX telah menerbitkan sejumlah rekomendasi yang ditujukan kepada BPJS Ketenagakerjaan.

Untuk mendapatkan calon Dewas terbaik, Ermalena menjelaskan Komisi IX mencatat dan mencermati rekam jejak (track record) para calon tersebut. Menilai apakah mereka mampu atau tidak bekerjasama dengan DPR dalam mengawasi BPJS Ketenagakerjaan. Oleh karenanya DPR tidak melihat apa afiliasi partai politik dari masing-masing calon. “Kalau si calon tidak punya kemampuan dan kapasitas, sekalipun dekat dengan siapapun (partai politik,-red) maka dia tidak akan kami pilih,” ujarnya.

Begitu pula dengan calon yang dulunya menolak BPJS. Menurut Emarlena selama penolakan itu tidak dilakukan secara provokatif dan tidak berdampak negatif maka tidak menjadi soal. Baginya perbedaan pendapat ketika UU BPJS sedang dibahas di DPR merupakan bagian dari dinamika yang wajar karena ada kelompok yang pro dan kontra. Paling penting saat ini bagaimana calon tersebut paham persoalan yang dihadapi dalam pelaksanaan program Jaminan Sosial oleh BPJS Ketenagakerjaan dan menemukan solusinya. “Kami mencatat dan mencermati track record para calon Dewas,” tegasnya.

Para calon Dewas BPJS Ketenagakerjaan yang ikut uji kelayakan di DPR yaitu Rekson Silaban (unsur pekerja/buruh) dari KSBSI. Eko Darwanto (unsur pekerja/buruh) dari Federasi Sarbumusi. Mohammad Joesoef (unsur pekerja/buruh) dari FSPTSI. Ribawati (unsur pekerja/buruh) dari KSPSI. Dipasusila Utama S Utama (unsur pemberi kerja) dari Apindo. M Aditya Warman (unsur pemberi kerja), Wasekum DPN Apindo. Ananto Harjokusumo (unsur pemberi kerja) dari Apindo. Inda D Hasman dari Apindo dan menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Alih Daya Indonesia.

Calon Dewas BPJS Ketenagakerjaan dari unsur tokoh masyarakat yakni Poempida Hidayatulloh, mantan anggota Komisi IX DPR Fraksi Partai Golkar Poempida Hidayatulloh, dan mantan auditor BPKP, Mohamad Hassan.

Terpisah, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menekankan agar DPR teliti dan obyektif terutama mencermati isu kepesertaan, investasi, pelayanan dan manajemen organisasi. Menurut dia, saat ini BPJS Ketenagakerjaan gagal meningkatkan kepesertaaan secara signifikan. Jumlah peserta aktif yang berasal dari pekerja sektor formal masih 30 persen dari total pekerja formal yang saat ini mencapai 35 juta. Mestinya jumlah kepesertaan itu bisa naik signifikan karena BPJS punya instrumen untuk menegakan hukum yakni PP No. 86 Tahun 2013 (sanksi administratif).

UU SJSN dan UU BPJS mewajibkan seluruh pekerja formal sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Melihat jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan yang minim, Timboel menilai Dewas BPJS Ketenagakerjaan saat ini gagal mengawasi kerja-kerja direksi di bidang kepesertaan.

BPJS Ketenagakerjaan mengelola sekitar Rp200 triliun dana peserta. Menurut Timboel, investasi harus dilakukan dengan memegang prinsip kehati-hatian sehingga bisa menghasilkan imbal hasil yang baik. Dewas dituntut mampu dan berani mengkritisi penempatan dana-dana buruh pada berbagai instrumen investasi.

Isu lain, pencairan dana JHT, selama ini bisa dilakukan dalam waktu satu pekan tapi sejak 1 Juli 2015 proses itu membutuhkan waktu 4 bulan. Menurut Timboel, ini terjadi karena BPJS Ketenagakerjaan tidak siap merespon terbitnya PP No. 60 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No. 46 Tahun 2015 tentang JHT. Begitu pula dengan pelayanan terhadap peserta yang mengalami kecelakaan kerja, masih ada RS yang belum mau bekerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan untuk memberi pelayanan terhadap peserta.

Untuk manajemen organisasi, dikatakan Timboel, posisi Dewas BPJS Ketenagakerjaan terlihat subordinasi Direksi. Akibatnya, Dewas tidak mampu maksimal mengawasi kinerja Direksi. Ia mencatat Direksi BPJS Ketenagakerjaan menerbitkan beberapa kebijakan yang tidak signifikan mendongkrak kepesertaan seperti pembukaan 150 kantor cabang dan sistem IT yang belum berfungsi baik walau telah mengeluarkan anggaran besar. “Masih banyak persoalan ke depan yang harus diselesaikan dan butuh kerja-kerja Dewas BPJS Ketenagakerjaan yang riil,” tukas Timboel.
Tags:

Berita Terkait