RUU PPRT Atur Hubungan Kerja Majikan-Pembantu
Berita

RUU PPRT Atur Hubungan Kerja Majikan-Pembantu

Masyarakat sipil ingin ada standar minimum gaji PRT.

ADY
Bacaan 2 Menit
Jala PRT saat menggelar aksi unjuk rasa. Foto: RES
Jala PRT saat menggelar aksi unjuk rasa. Foto: RES

Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) mengatur hubungan kerja antara majikan dan peñata laksana rumah tangga atau pembantu rumah tangga. Dalam hubungan itu akan diatur hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil sudah sejak lama mendesak agar RUU ini menjadi prioritas pembahasan di Senayan. Koordinator JALA PRT, Lita Anggraeni, misalnya berpendapat bahwa RUU PPRT sangat penting sebagai payung hukum hubungan kerja antara pekerja rumah tangga dengan majikannya.

Selama ini, kata Lita, belum ada payung hukum yang kuat mengatur hubungan itu. Padahal sudah banyak kasus kekerasan yang terjadi atau dialami oleh pekerja rumah tangga. Tahun 2015, dalam catatan JALA PRT, terjadi 435 kasus kekerasan. "Kasus seperti ini akan terjadi terus kalau tidak ada UU Perlindungan PRT karena sampai saat ini belum ada peraturan yang memberi perlindungan secara komprehensif," katanya dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Senin (08/1).

RUU PPRT, jelas Lita, juga akan mengatur tentang mekanisme penyelesaian sengketa PRT-majikan. Sejauh ini, RUU memilih opsi mediasi sebagai jalan keluar. Poin lain yang bakal diatur adalah kewajiban majikan memasukkan PRT ke dalam program jaminan-jaminan sosial (BPJS); dan standar minimum upah.

Perlindungan majikan juga penting. Majikan juga sering dirugikan antara lain karena tiba-tiba pekerja kabur, atau pekerja terlibat kasus kejahatan di rumah majikan. Salah satu norma yang diatur dalam RUU adalah hak majikan mengetahui identitas pekerja. Hak ini juga penting untuk mencegah terjadinya kegiatan mempekerjakan anak dan human trafficking.

Karena itu, Komisioner Komnas Perempuan, Magdalena, menegaskan perlindungan dalam RUU ini bukan saja untuk si pekerja tapi juga majikan. Jika hubungan kedua pihak sudah diatur sedemikian rupa, Magdalena yakin kekerasan dapat dicegah. Pekerja dalam RUU ini didorong untuk mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah melalui Balai Latihan Kerja, misalnya. "Kami usulkan agar ketentuan ini masuk dalam RUU Perlindungan PRT," tukasnya.

Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Giwo Rubianto Wiyogo, mendukung RUU PPRT. Apalagi sebagian besar anggota Kowani pengguna jasa PRT.

Giwo menyoroti majikan yang memperlakukan PRT sebagai saudara sehingga dimasukkan ke dalam kartu keluarga. Di satu sisi ini memperlihatkan hubungan baik, namun di sisi lain membuat hak dan kewajiban menjadi kabur. Kejelasan hubungan itu penting bagi majikan dan pekerja. "RUU Perlindungan PRT tidak boleh ditunda lagi, ini dibutuhkan segera agar semuanya jelas seperti standar upah minimum dan aturan lainnya," tegasnya.

Giwo mengusulkan sejumlah hal yang perlu diatur dalam RUU Perlindungan PRT yakni kompetensi dan keterampilan. Misalnya, pendidikan minimal PRT yakni SMP dengan gaji paling rendah UMP. Pemerintah perlu berperan meningkatkan kompetensi dan keterampilan PRT. Begitu pula dengan agen yang perlu diatur ketat agar tidak merugikan majikan dan PRT. "Kowani mendorong terwujudnya wilayah ramah PRT diseluruh Indonesia," pungkasnya.

Pada 2004 silam RUU PPRT jadi RUU inisiatif DPR. Dari 2010-2014 RUU itu selalu jadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Tahun 2012 RUU Perlindungan PRT masuk ke Badan Legislasi DPR dan sudah dilakukan studi banding ke Afrika Selatan dan Argentina. Namun pada 2015 RUU PPRT tidak masuk prioritas lagi.
Tags:

Berita Terkait