Dinamika Hubungan Hukum Produsen-Konsumen
Catatan Awal Tahun 2016:

Dinamika Hubungan Hukum Produsen-Konsumen

Inovasi pelayanan transportasi memanjakan konsumen. Payung hukumnya tertinggal. Produsen juga bisa menang di pengadilan.

MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Go-Jek dan Grabbike, dua contoh fenomena transportasi berbasis aplikasi. Foto: RES
Go-Jek dan Grabbike, dua contoh fenomena transportasi berbasis aplikasi. Foto: RES
‘Drama’ regulasi itu dimainkan di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, kantor Kementerian Perhubungan Republik Indonesia. Awalnya, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menerbitkan surat tertanggal 9 November 2015 perihal kendaraan pribadi (sepeda motor, mobil penumpang, mobil barang) yang digunakan untuk mengangkut orang dan/atau barang dengan memungut bayaran.

Surat ini lalu ditafsirkan sebagai larangan beroperasi bagi ojek berbasis aplikasi yang lagi marak. Surat itu ditujukan kepada Kapolri, sehingga ditafsirkan lebih lanjut sebagai permintaan kepada polisi untuk menindak pengendara ojek berbasis aplikasi. Begitu suratnya sampai ke tangan publik, reaksi mengecam langsung bermunculan. Bahkan Presiden Joko Widodo ikut memberi tanggapan.

Ojek aplikasi lagi marak dan memanjakan konsumen. Tak hanya mengantar ke tempat tujuan, tetapi juga bisa dipesan membeli dan membawakan makanan yang diinginkan konsumen. Kehadiran ojek aplikasi inilah yang mengubah preferensi konsumen dalam bertransportasi.

Di dunia hukum, kehadiran ojek aplikasi menimbulkan perdebatan. Kementerian Perhubungan berdalih UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), dan PP No. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan tak memasukkan ojek motor sebagai angkutan umum. Berbekal argumen inilah larangan ojek aplikasi muncul.

“Larangan ojek oleh kemenhub akan menjadi macan ompong,” kritik Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) seperti tertuang dalam rilisnya 22 Desember. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) juga ikut bersuara keras. “Larangan Menteri Perhubungan terlalu premature,” kata anggota BPKN yang juga ahli hukum konsumen, David ML Tobing.

Begitu mendapat reaksi kecaman, Menteri Perhubungan buru-buru menarik kebijakan itu. Tak hanya menarik beleid yang terlanjut terbit, Dirjen Perhubungan Darat pun mengundurkan diri dengan dalih kemacetan lalu lintas.

Melihat dinamika hubungan konsumen dan produsen tahun 2015 memang lebih pas di dunia transportasi. Apa yang terjadi di dunia angkutan ojek hanya sedikit dari begitu banyak dinamika transportasi yang terjadi pada tahun 2015, dan mungkin masih berlanjut pada 2016 ini.

Putusan Pengadilan
Dinamika hubungan konsumen-produsen dengan pihak ketiga juga bisa dilihat dari perkara-perkara yang masuk ke pengadilan. Beberapa putusan Mahkamah Agung dalam sengketa pembelian motor antara pembeli dengan perusahaan pembiayaan menepis penyelesaian perkara lewat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Mahkamah Agung lebih menempatkan perkara semacam itu sebagai wanprestasi sehingga seharusnya diproses melalui gugatan perdata biasa.

Selama ini, jika motornya ditarik karena kredit belum lunas, konsumen mempersoalkannya lewat BPSK. Kini, dilihat dari sejumlah putusan yang dipublikasi Mahkamah Agung lewat laman resmi, hakim agung melihat hubungan pembeli motor dengan perusahaan pembiayaan sebagai hubungan perjanjian biasa, bukan konsumen-produsen yang layak dibawa dan diselesaikan ke BPSK.

Putusan pengadilan penting yang berasal dari sengketa konsumen-produsen adalah kasus airbag mobil Toyota Fortuner. Dua putusan PN Jakarta Utara, yakni no. 402/Pdt.G/2014 dan No. 534/Pdt.G/2014, menolak gugatan konsumen. Dalam dua kasus ini, produsen bisa memberikan argumentasi dan bukti yang meyakinkan majelis hakim. “Tidak mengembangnya airbag pada saat kecelakaan bukan karena cacat produk sebagaimana didalilkan penggugat,” kata Dedi Kurniadi, kuasa hukum tergugat, PT Toyota Astra Motor, dalam perkara No. 402. Putusan ini dibacakan majelis hakim pada 24 Juni 2015 lalu.

Meskipun bukan berkaitan dengan transportasi, putusan MA yang menghukum Stanchart membayar ganti rugi satu miliar rupiah patut dikemukakan dalam melihat hukum konsumen. Bank asal Inggris itu diwajibkan membayar ganti rugi karena menggunakan jasa debt collector untuk menagih utang kepada nasabah.

Titik Balik
Dalam catatan akhir tahunnya, BPKN menyebut tahun 2015 sebagai titik balik bangkitnya perlindungan konsumen Indonesia. Berdasarkan Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) yang dibuat Kementerian Perdagangan, konsumen Indonesia sudah tingkat ‘paham’, artinya memahami hak dan kewajibannya sebagai konsumen.

Berdasarkan pemantauan BPKN ada beberapa isu penting yang muncul dalam dinamika setahun terakhir. Pertama, kajian implikasi kebijakan harga BBM terhadap perlindungan masyarakat kecil. YLKI juga menaruh perhatian pada masalah ini. Kedua, kajian tentang perjanjian baku dalam melindungi konsumen. Secara akademik, anggota BPKN David ML Tobing mengangkat isu ini saat mempertahankan disertasi. Ketiga, kajian pelayanan kesehatan oleh BPJS. Keempat, kecukupan perlindungan konsumen dalam era masyarakat ASEAN (MEA). Kelima, perlindungan konsumen layanan internet dan TV berbayar. Keenam, dampak kemasan plastic ukuran kecil terhadap konsumen dan lingkungan. Ketujuh, peredaran obat dan food supplement. Kedelapan, cara menjual dan periklanan. Kedelapan masalah di atas mungkin masih menjadi pekerjaan rumah para pemangku kepentingan.

Penanganan keluhan konsumen dalam skala kecil sebenarnya semakin mendapat tempat sejak terbitnya Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Sayangnya, mekanisme gugatan sederhana ini belum banyak dimanfaatkan.

Mekanisme ini seyogianya juga menjadi perhatian dalam proses revisi UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Kementerian Perdagangan sudah menggagas revisi itu dengan mendengarkan masukan sejumlah pemangku kepentingan. Tentu saja, ini menjadi tugas legislasi DPR dan Pemerintah di tahun 2016. Guru Besar Universitas Parahyangan Bandung, Yohannes Gunawan, termasuk yang bersuara keras menyuarakan revisi itu.

Menurut Yohannes Gunawan, ada empat perubahan penting yang perlu diusung dalam revisi UUPK. Pertama, hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha/penyedia jasa. Dalam naskah akademik, terdapat klausula bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi konsumen, penggantian istilah pelaku usaha jasa menjadi penyedia/pemasok jasa, rincian barang/jasa yang dibagi menjadi bergerak dan tidak bergerak, serta beraga/berwujud untuk barang, dan profesional atau komersial untuk jasa.

Kedua, perubahan UUPK harus menjelaskan secara rinci tanggung jawab pelaku usaha barang dan jasa. Ketiga, perjanjian baku dan klausula baku. Menurut Johanes, seiring berkembangnya waktu, bentuk kontrak pun turut berkembang. Saat ini dikenal tiga kontrak yakni negotiated contract, standardized contract, dan digital contract. Namun kontrak yang dilakukan dalam e-commerce justru belum melindungi konsumen. Ia sepakat untuk membentuk cross border resolution dalam UUPK terutama untuk transaksi yang dilakukan secara online.

Keempat, mengenai penyelesaian sengketa konsumen atau kelembagaan perlindungan konsumen. Pasal 23 UUPK menjelaskan sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui dua cara yakni pengadilan dan luar pengadilan. UUPK menyebutkan putusan yang diselesaikan melalui jalur non litigasi atau BPSK adalah final dan mengikat. Kemudian atas putusan tersebut, ada pihak-pihak yang mengajukan keberatan melalui pengadilan. Yohanes menyebut alur penyelesaian semacam itu keliru.

Revisi merupakan salah cara memperbaiki regulasi yang sudah ada. Harus diakui bahwa kadang-kadang aturan tertulis yang dibuat sudah ketinggalan zaman dan tidak bisa mengikuti perkembangan, apalagi perkembangan yang lahir dari inovasi. Seperti yang bisa dilihat dalam kasus ojek aplikasi saat ini.
Tags:

Berita Terkait