Ini Tiga Kriteria Hakim untuk Memeriksa Kasus Lingkungan
Berita

Ini Tiga Kriteria Hakim untuk Memeriksa Kasus Lingkungan

Mulai dari update isu lingkungan sampai dapat mengakui lingkungan hidup adalah subyek hukum.

HAG
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Putusan Pengadilan Negeri Palembang yang menolak gugatan yang diajukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas PT Bumi Mekar Hijau (BMH) menuai kritik dari masyarakat. Kritik tersebut diberikan atas pertimbangan hakim yang mengadili dianggap tidak sesuai dengan hukum lingkungan hidup. Lalu, bagaimanakah kriteria hakim yang berhak untuk memeriksa dan mengadili kasus lingkungan hidup?

Peneliti ICEL (Indonesian Center of Environmental Law), Raynaldo Sembiring, menjelaskan setidaknya ada tiga kriteria ideal yang harus dipenuhi hakim untuk memeriksa kasus lingkungan hidup. Pertama, hakim harus bisa menjembatani bukti ilmiah (scientific evidence) dengan legal evidence.

“Bila hakim tidak dapat menjembatani itu maka kasusnya akan seperti peritmbangan hakim yang sekarang (perimbangan hakim PN Palembang kasus PT BMH -red). Seolah-olah dia bisa saja mengabaikan bukti ilmiah, padahal buktinya sudah sangat massif,” ujar Raynaldo kepada hukumonline, Selasa (5/1).

Kedua, hakim harus punya satu ideologi yang kuat dan paham bahwa lingkungan hidup adalah suatu subyek hukum yang harus dilindungi. “Itu sudah ada yurisprudensi, karena waktu itu sudah ada Prof Paulus yang memutuskan legal standing. Dia sudah mengakui hak lingkungan hidup, sehingga sebenarnya bukan menjadi suatu hal yang diperdebatkan lagi bahwa lingkungan hidup merupakan suatu subyek hukum. Sehingga dia harus bisa menempatkan lingkungan hidup yang punya kepentingan tetapi dia tidak dapat menuntut haknya karena dia bukan manusia. Hakim harus punya pemahaman seperti itu,” jelasnya.

Ketiga, menurut Raynaldo, Hakim harus update dengan bagaimana perkara lingkungan hidup itu berkembang dan juga modus-modusnya. “Sehingga dia logikanya tidak hanya mendalilkan apa yang diutarakan oleh para pihak saja. Melihat bagaimana perkara lingkungan itu berkembang. Nanti perimbangan banyak sekali yang logika yang tergiring opini dari satu pihak sehingga sebenarnya tidak begitu paham itu adalah modus kejahatan lingkungan, sehingga itu dibenarkan. Itu karena dia tidak updatedengan isu lingkungan, tambahnya.

Berdasarkan data ICEL, sambung Raynaldo, saat ini ada kurang lebih 200 hakim yang memiliki sertifikasi Hakim Lingkungan. Namun, adanya sertifikasi hakim lingkungan belum dapat menjamin karena ada faktor integritas.

“Setidaknya hakim yang bersertifikasi lingkungan itu sudah dapat pemahaman dan pengetahuan tapi kalau masalah integritas itu saya tidak jamin. Ada faktor non-teknis, yaitu integritas. Sebenarnya kalau secara pribadi hakim lingkungan itu punya kemampuan lebih dibandingkan dengan hakim lainnya karena itu kan spesialisasi, tetapi kalau mengenai integritas saya tidak jamin, karena integritas juga sangat mempengaruhi proses peradilan itu sendiri kan,” kata Raynaldo.

Raynaldo menambahkan, untuk melihat kondisi penegakan hukum lingkungan tidak hanya dilihat dari kinerja hakim, tetapi juga dilihat dari sistem promosi hakim dan penempatan yang sesuai dengan banyaknya kasus lingkungan hidup di daerah.

Menurut Raynaldo, menilai hakim harus dilihat dari sistem keseluruhan, bukan hanya kinerja. Bila berbicara hakim lingkungan, maka kita berbicara bagaimana membangun pendidikan yang baik, mengingat isu lingkungan hidup sangat banyak. Kemudian, moitoring dan evaluasi terhadap kinerja para hakim. Lalu, model sistem promosinya. Raynaldo menyarankan penempatan hakim lingkungan seharusnya sesuai dengan banyaknya kasus lingkungan.

Raynaldo berharap publik harus bisa kasih reward, bukan hanya punishment. "Sehingga saya berharap jika ada perkara yang  diputuskan memenuhi rasa kemanusian maka publik mengapresiasi sebagaimana KPK menangkap koruptor,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait