Tantangan dan Solusi Hindari Pembatalan Kontrak Bahasa Asing
Utama

Tantangan dan Solusi Hindari Pembatalan Kontrak Bahasa Asing

Ada pergeseran paradigma melihat kebebasan berkontrak. Putusan Mahkamah Agung dianggap memperkuat posisi UU Bahasa.

FITRI N. HERIANI
Bacaan 2 Menit
Diskusi pembatalan kontrak berbahasa asing di Jakarta, Kamis (10/12). Foto: RES
Diskusi pembatalan kontrak berbahasa asing di Jakarta, Kamis (10/12). Foto: RES

Kehadiran UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa) telah menjadi ‘kerikil’ dalam kebebasan berkontrak. Undang-Undang ini mengharuskan kontrak yang dibuat di Indonesia dan melibatkan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia menggunakan bahasa Indonesia.

Kepala Seksi Penyelenggaraan Pembahasan RUU Ditjen PP Kementerian Hukum dan HAM, Reza Fikri Febriansyah, berpendapat ada  tiga hal utama tujuan pengaturan mengenai bahasa dalam UU No. 24 Tahun 2009, yaitu . memperkuat persatuan dan kesatuan; enjaga kehormatan dan kedaulatan, serta menciptakan ketertiban, kepastian, dan standardisasi penggunaan.

Menurut Reza, sejak lahirnya UU ini ada pergeseran paradigma kebebasan berkontrak. Selama ini dianut rezim kebebasan membuat kontrak kecuali yang dilarang undang-undang. UU Bahasa yang lahir pada 2009 mengharuskan setiap kontrak yang diteken oleh WNI harus digunakan dalam Bahasa Indonesia. Wet ini dibuat sebagai wujud perlindungan terhadap warga negara Indonesia. “Untuk perlindungan,” begitu kata Reza dalam diskusi “Pembatalan Kontrak Bahasa Asing: Permasalahan dan Antisipasi” di Jakarta, Kamis (10/12).

Praktisi Hukum, Eri Hertiawan, punya pandangan yang berbeda. Menurutnya, pergeseran paradigma kebebasan berkontrak adalah suatu hal yang tidak perlu karena sudah menjadi asas penting dalam pembuatan suatu kontrak, para pihak memiliki kebebasan. Penggunaan bahasa Indonesia dalam kontrak bukan menjadi bagian inti dalam sebuah kontrak sehingga tidak secara otomatis bisa membatalkan perjanjian tersebut. “Karena isi perjanjian bukan soal bahasa, tetapi tujuan perjanjian yang disepakati para pihak,” jelas Eri.

Dalam praktinya, Eri mengatakan ada lima tantangan dan solusi yang harus dihadapi para pihak dalam berkontrak, jika kontrak menggunakan bahasa asing. Pertama, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa universal. Jika begini, solusi yang bisa ditempuh adalah menyediakan perjanjian dengan dua bahasa dan membuat akta notaris.

Kedua, perjanjian berbahasa asing mungkin saja dijadikan salah satu pihak sebagai alasan untuk mengajukan pembatalan perjanjian dengan alasan pihaknya tidak mengerti isi dari perjanjian tersebut. Jika merujuk pada Pasal 1449 KUHPerdata, kontrak yang dilakukan dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya. Jika ini mungkin terjadi, perlu adanya pembuktian apakah memang perjanjian tersebut sengaja menggunakanbahasa asing untuk membuat salah satu pihak keliru.

Eri berpendapat kekhilafan tidak dapat dijadikan alasan pembatalan suatu perjanjian kecualii jika kekhilafan itu terkait barang yang menjadi pokok persetujuan dan/atau kecuali jika persetujuan itu sengaja diberikan kepada orang yang memiliki kekhilafan. Hal tersebut merujuk pada Pasal 1322 KUHPerdata. Pembuktian tidak adanya kekhilafan dapat dilakukan jika pada kenyataanya pihak yang mengaku khilaf tetap melaksanakan sesuai dengan apa yang diperjanjikan. “Hal ini dinamakan sebagai perjanjian diam-diam,” imbuhnya.

Tantangan ketiga adalah jika terjadi dispute dan perkara harus masuk ke persidangan. Bukti surat di pengadilan mewajibkan penggunaan dalam Bahasa Indonesia. Eri menyarankan agar bukti tulisan termasuk yang berbahasa asing harus dilegalisasi untuk dapat dibuktikan dalam persidangan.

Proses legalisasinya adalah menerjemahkan semua dokumen tertulis ke Bahasa Indonesia, notarisasi terjemahan oleh notaris publik untuk meneguhkan keaslian terjemahan, nezegelen dokumen terjemahan yang telah dinotarisasi ke Kantor Pos setempat, legalisir dokumen yang telah di-nazegelen dan menyerahkan ke muka persidangan dokumen asli berbahasa asing, salinanya, dan terjemahan resmi yang telah dinotarisasi dan dilegalisir.

Keempat, perjanjian bahasa asing dapat menyebabkan multitafsir. Jika terjadi perbedaan penafsiran, maka menafsirkan harus disesuaikan dengan nafas perjanjian yang telah disepakati, bukan harfiah. Apabila para pihak sepakat bahwa bahasa asing atau Bahasa Indonesia yang digunakan untuk menafsirkan dalam hal terdapat pertentangan, maka hal tersebut disepakati oleh para pihak dalah mengikat.

Kelima, jika perjanjian elektronik dan harus berbahasa Indonesia. Kontrak elektronik dan bentuk kontraktual lainnya yang ditujukan kepada penduduk Indonesia harus dibuat dalam Bahasa Indonesia. Ini antara lain diatur dalam Pasal 48 PP No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan dan Sistem Transaksi Elektronik.

Solusi
Untuk menghadapi kemungkinan pembatalan kontrak karena alasan bahasa, Eri menawarkan sejumlah solusi. Solusinya adalah perjanjian yang dilakukan secara elektronik harus diverifikasi oleh notaris dengan cara mencetak dokumen elektronik, mencocokkan hasil cetak dokumen elektronik dengan dokumen elektronik, dan notaris melakukan verifikasi bahwa hasil cetak dokumen elektronik dan menyatakan bahwa hasil cetak dokumen elektronik tersebut adalah otentik. Hasil cetak dokumen elektronik yang telah dinyatakan oleh notaris diterjemahkan oleh penerjemah resmi.

Eri juga mencatat kelemahan kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dalam kontrak adalah tidak adanya sanksi dalam pelanggaran kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dalam ketentuan perundang-undangan. Kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia mungkin saja dijadikan sebagai senjata pembatalan perjanjian berbahasa asing sebagai itikad buruk dari salah satu pihak yang tidak dapat menyelesaikan prestasinya dalam perjanjian tersebut.

Namun menurut Reza, kata ‘wajib’ dalam Pasal 31 UU Bahasa tidak harus disertai dengan sanksi. Ketika sesuatu ‘wajib’ untuk dilakukan dan ternyata tidak dilakukan, berarti hal tersebut adalah dilarang. “Wajib tidak harus ada sanksi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait