RUU Tax Amnesty dan Revisi UU KPK Masuk Prolegnas 2015
Utama

RUU Tax Amnesty dan Revisi UU KPK Masuk Prolegnas 2015

Idealnya, kedua RUU tersebut menjadi insiatif pemerintah lantaran lebih memahami kebutuhan peningkatan pendapatan pajak dan penguatan KPK.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Menkumham Yasonna H Laoly. Foto: RES
Menkumham Yasonna H Laoly. Foto: RES

Setelah menuai perdebatan dalam rapat paripurna, Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty –Pengampunan Pajak- dan Revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK resmi masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015. Kesepakatan itu diambil setelah dilakukan lobi antar fraksi di luar rapat paripurna.

“Secara teknis kaitan inisiatif kedua RUU ini menjadi inisiasi bersama-sama, sehingga itu diformulasikan dalam pembahasan nanti,” ujar Wakil Ketua DPR selaku pimpinan rapat, Taufik Kurniawan, di Gedung DPR, Selasa (15/12).

Awalnya, di tingkat Badan Legislasi (Baleg), RUU Tax Amnesty disepakati menjadi hak inisiatif pemerintah. Sedangkan revisi UU KPK menjadi inisiasi DPR. Namun, dinamika dalam rapat paripurna menuai perdebatan panjang. Menurut Taufik, mengingat batas waktu Prolegnas 2015 akan berakhir pada 18 Desember mendatang, maka kedua RUU tersebut dilanjutkan pembahasannya pada Prolegnas 2016.

Wakil Ketua Baleg Firman Subagyo setuju bila RUU Tax Amnesty dan Revisi UU KPK masuk prolegnas 2015. Namun, dengan mepetnya waktu tidak memungkinkan kedua RUU itu bakal di bahas semua pada 2015. “Kemungkinan besar pembahasan kedua RUU itu akan kita lanjutkan lagi pada Prolegnas 2016,” ujarnya.

Dalam forum lobi antara pimpinan fraksi dan pemerintah, diambil kesepakatan kedua RUU itu menjadi hak inisiatif bersama antara DPR dan pemerintah. Menurutnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly sudah memberikan jaminan terhadap revisi UU KPK terhadap empat poin. Apalagi, KPK sudah memberikan persetujuan.

“Semua sepakat tidak ada pelemahan KPK. Kita hanya meluruskan yang tidak lurus dan tidak benar menjadi benar supaya konstitusi kita dijalankan secara benar,” ujar politisi Partai Golkar itu.

Menkumham Yasonna H Laoly mengamini pandangan Taufik Kurniawan dan Firman Subagyo. Menurutnya, masuknya kedua RUU itu dalam Prolegnas menjadi kebutuhan. Sama halnya dengan Firman, Yasonna mengakui dengan minimnya waktu di penghujung masa sidang 2015, tak akan mampun menyelesaikan kedua RUU tersebut.

Solusinya, kata Yasonna, dengan kembali memasukan dalam Prolegnas prioritas 2016.  Menurutnya, meski kedua RUU tersebut menjadi kebutuhan, namun bukan berarti memaksakan kedua RUU tersebut dirampungkan dalam kurun waktu tiga hari. “Tidak (mungkin, red). Tapi ini kan harus masuk lagi nanti. Iya (masuk 2016) dong,” ujar politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Firman menambahkan, dengan disetujuinya usulan RUU Pengampunan Pajak, setidaknya deretan RUU dalam Prolegnas 2015 bertambah. Sebelumnya, RUU Prolegnas prioritas 2015 berjumlah 39 RUU dan 5 daftar RUU kumulatif terbuka. Masuknya RUU Pengampunan Pajak menjadikan RUU Prolegnas prioritas 2015 menjadi 40 RUU.

“Namun kami sampaikan, mengingat waktu yang sangat terbatas pada tahun 2015, maka penyiapan dan pembahasan kedua RUU tersebut tentunya dapat dilanjutkan pada Prolegnas RUU prioritas tahun 2016,” ujar anggota Komisi IV itu.

Idealnya inisiatif pemerintah
Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman mengatakan, dengan memasukan kedua RUU itu menjadi prioritas Prolegnas 2015, maka pada hakikatnya menjadi kebutuhan bagi  pemerintah, bukan DPR. Meski sudah disepakati menjadi inisiatif pemerintah dan DPR, Benny tak memberikan persetujuan kedua RUU itu masuk Prolegnas 2015.

“Alasannya tahun sidang sudah selesai (pada 18 Desember, red). Kami mengusulkan masuk Prolegnas 2016. Soal konten ini kita bahas nanti,” ujarnya.

Menurut Benny, pemerintah lebih mengetahui persis terhadap kedua RUU tersebut. Ia menilai sepanjang menjadi insiatif pemerintah, DPR siap membantu dalam pembahasan muatan materi berupa penguatan KPK. Begitu pula dengan RUU Pengampunan Pajak dalam rangka meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak.

Anggota Komisi VII Ramson Siagian menambahkan, pemerintah mesti mengambil alih hak inisiatif revisi UU KPK. Menurutnya, bila DPR sebagai pihak inisiator revisi UU KPK maka bakal menjadi bumerang. Sebagaimana diketahui, beberapa kali DPR berupaya melakukan revisi UU KPK. Namun, sejak itu pula DPR menerima hujatan publik. Apalagi publik menilai DPR kerap berupaya melemahkan KPK.

“Kalau DPR (mengambil inisiatif, red) justru akan di bully. Posisi kita (DPR, red) sekarang ini di titik rendah. Jangan usulan pemerintah dilempar ke DPR. Kami Gerindra menolak RUU KPK masuk dalam Prolegnas. Silakan kalau pemerintah mau, itu tanggungjawab presiden,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait