“Gabungan partai politik (koalisi) untuk mendukung calon kepala daerah adalah konstitusional dan suatu kewajaran. Tetapi, dirasa tetap perlu ada pembatasan untuk menghindari absolutisme kekuasaan,” ujar Hakim Patrialis Akbar saat membacakan pendapat berbeda.
Menurut Patrialis, empat hakim sepakat dengan dalil pemohon mengenai pembatasan 60 persen. Hal ini berguna untuk mencegah terjadinya monopoli dukungan oleh pasangan calon tertentu atau pemilik modal. Sebab, monopoli dukungan ini dikhawatirkan akan menghilangkan kompetisi dan semangat demokrasi.
Dia melanjutkan jika syarat dukungan maksimal tidak dibatasi dikhawatirkan akan terjadi praktik memborong dukungan dan menutup kesempatan pasangan calon lain untuk memperoleh dukungan minimal 20 persen dari partai politik/gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD bersangkutan. Akibatnya, akan timbul keadaan hanya ada calon tunggal kepala daerah.
“Jika tidak ada pembatasan maksimal atau paling banyak 60 persen memungkinkan memunculkan pasangan calon tunggal,” kata Patrialis lagi.
Selain itu, pembatasan 60 persen diharapkan mampu mencegah proses kapitalisasi yang mengubah paradigma kontestasi politik. Soalnya, pasangan calon yang didukung (penuh) akan berpikir praktis, merasa tidak perlu lagi menggelar kampanye dan menggelar diskursus dialogis yang responsif. “Calon berpikir, hanya cukup menggelontorkan dana besar kepala pemilih tanpa perlu meyakinkan visi-misi dan aksi yang kelak akan dijalankan jika terpilih,” kata Patrialis.
Terakhir, pembatasan dinilai dapat melindungi hak untuk dipilih bagi pasangan calon yang ingin maju melalui jalur perseorangan. Harapan keterpilihan masih terbuka, karena secara matematis, masih tersisa 40 persen suara yang diupayakan mendukung calon tersebut. “Seharusnya permohonan pemohon dikabulkan, khususnya untuk frasa ‘gabungan partai politik’ dalam Pasal 40 ayat (1) dan (4) UU Pilkada.”
Usai persidangan, kuasa hukum pemohon Dwi Istiawan beranggapan jangka waktu 45 hari kalender dalam penyelesaian perkara pilkada sangat pendek karena efektif hanya tersedia sekitar 32 hari kerja. “Jika terjadi perselisihan di 269 daerah, kan tidak efektif kalau MK bekerja dikejar-kejar waktu karena gugatan sengketa pilkada tidak mungkin sedikit,” ujar Dwi di gedung MK.
Meski begitu, dia kecewa dengan putusan MK ini karena sebagian besar permohonannya ditolak. “Siapa sih orang yang mau menerima begitu saja, apa lagi ini kan urusan politik, kita kecewa,” katanya.
‘hari’sejak diterimanya permohonanKetua Majelis MK, Arief Hidayat saat membacakan amar putusan bernomor 105/PUU-XIII/2015 di ruang sidang MK, Rabu (11/11).
sengketa perkara pilkadajumlah hakim dan perangkat peradilan dengan banyaknya perkara yang memerlukan kecermatan dan ketelitian sesuai asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan juga agar tidak terlanggarnya hak konstitusional warga negara, khususnya Pemohon.
sejak diterimanya
; Pasal 40 ayat (1) dan (4); Pasal 51 ayat (2); Pasal 52 ayat (2); Pasal 107 ayat (1); Pasal 109 ayat (1); Pasal 121 ayat (1); Pasal 122 ayat (1);dan Pasal 157 ayat (4) dan ayat (8) UU Pilkada.
pasal-pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 karena dianggap diskriminatif dan membatasi hak-hak konstitusionalnya untuk memilih dan dipilih dalam konstelasi pilkada. “Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya,” kata Arief.
melakukan pemborongan dukungan dan kecurangan.
Dissenting
dissenting opinionKeempat hakim tersebut yakni Patrialis Akbar, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo. Keempatnya sepakat dengan dalil pemohon harus ada syarat dukungan maksimal 60 persen dari perolehan jumlah kursi DPRD.