Dividen dan Laba Ditahan BUMN Perlu Payung Hukum
Berita

Dividen dan Laba Ditahan BUMN Perlu Payung Hukum

Selama ini tak ada patokan jelas besaran dividen dan laba yang ditahan. Rentan disalahgunakan.

FNH
Bacaan 2 Menit
Dividen dan Laba Ditahan BUMN Perlu Payung Hukum
Hukumonline
Salah satu sumber pendapatan negara, selain pajak, adalah pendapatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN digunakan sebagai alat bagi pemerintah untuk mencari dana. Kendati demikan, tidak semua BUMN bersifat komersil. Salah satu isu terkini yang diperdebatkan adalah Penyertaan Modal Negara (PMN) ke BUMN

Koordinator Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yenny Sucipto, menilai pengelolaan BUMN masih belum sesuai dengan semangat Nawacita yang disusun Presiden Joko Widodo, yakni menjadi Soko Guru Ekonomi Nasional. Pengelolaan BUMN oleh Pemerintah masih belum transparan. Bahkan, BUMN tidak memiliki peta jalan (roadmap) yang jelas dalam mengelola keuangan negara yang disuntikkan melalui mekanisme PMN.

Selama ini, lanjut Yenny, penerapan besaran dividen dan laba ditahan di masing-masing BUMN juga tidak diatur secara jelas. Besaran dividen hanya diukur melalui kesepakatan pemerintah. Tidak ada besaran pasti yang menjadi acuan setiap perusahaan pelat merah untuk menyetorkan dividen kepada negara. Hal yang sama juga terjadi pada laba ditahan. “Kondisi ini bisa membuat perusahaan BUMN menjadi sapi perah dan mungkin ada transaksional dalam penentuan besaran dividen tersebut,” kata Yenny dalam konperensi pers di Jakarta, Selasa (10/11).

Yenny menyayangkan jika selama ini PMN yang disuntikkan kepada perusahaan BUMN tidak disertai roadmap dan laporan tertulis penggunaan dana dari negara tersebut. Padahal, potensi penyimpangan selalu terbuka. Karena itu, Yenny meminta Pemerintah membuat payung hukum tentang besaran dividen yang harus disetorkan dan besarnya laba ditahan.

Payung hukum itu sebaiknya juga mewajibkan setiap perusahaan BUMN yang menerima PMN untuk lebih transparan dalam menggunakan uang negara. Meski mengaku telah meminta pemerintah dan DPR untuk segera membahas regulasi tersebut, namun hingga kini belum ada respon.

Dari analisis laba dan dividen yang dilakukan FITRA, data LKPP BPK Tahun 2014 menunjukkan BUMN dengan perolehan laba terbesar adalah Pertamina (Rp57 triliun), PLN (Rp45 triliun), Telkom (Rp29 triliun), BRI (Rp28 triliun), Bank Mandiri (Rp25 triliun), BNI (Rp22 triliun), dan Perusahaan Gas Negara (Rp11 triliun). Sedangkan BUMN dengan laba usaha min (-) adalah Garuda Indonesia, Krakatau Steel, Merpati Nusantara Airlines, Dok dan Kodja Bahari, Antam, dan ASEI-REI.

Dan dari data BEI tahun 2015, Garuda Indonesia, Indofarma, Krakatau Steel adalah perusahaan yang tidak rutin menyetor dividen ke negara. Kalau berlanjut, hal ini berpotensi merugikan negara. Sementara total laba yang ditahan sejak 2010-2014 adalah Rp656 triliun.

Yenny juga mencatat beberapa rekomendasi kepada Jokowi terkait pengelolaan BUMN. Pertama, Presiden harus memperbaiki tata kelola BUMN secara benar dan transparan. Kedua, alokasi peningkatan PMN dalam APBN 2016 dan dalam APBN-P Tahun 2016 pada Februari mendatang dinilai kurang tepat dan lebih baik dibatalkan, lalu  dialokasikan untuk sektor lain. Ketiga, harus dilakukan revitalisasi BUMN sebagai penggerak ekonomi nasional dalam jangka panjang. Keempat, untuk melakukan revitalisasi BUMN Jokowi memerlukan pembantu yang mempunyai visi pengembangan BUMN yang bagus.

Indonesia punya 141 BUMN, terdiri dari 14 Perum, 109 Persero Terbatas (PT Persero), dan 18 Perseroan Terbatas Terbuka (PT Tbk). Berdasarkan data dalam APBNP 2015, Yenny menjelaskan PMN untuk BUMN adalah sebesar Rp63 triliun, naik 200 persen dari RAPBN 2015 yang hanya Rp11,5 triliun. Sementara kurang dari kurun waktu delapan bulan dari APBNP 2015, Menteri BUMN Rini Soemarno justru mengajukan lagi PMN sebesar Rp40 triliun yang kemudian menjadi perdebatan di DPR dan PMN tersebut harus ditunda.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan persoalan PMN yang ditunda pengesahannya oleh DPR akan kembali dibahas dalam APBNP 2016 pada Februari mendatang.

Sebelumnya, DPR menolak untuk mengesahkan PMN sebesar Rp40,4 triliun dalam APBN 2016. Anggaran PMN menjadi polemik dan mendapat penolakan keras dari DPR karena jumlah yang terlalu besar, membebani kas negara, dan rentan disalahgunakan.
Tags: