Pansel Hakim Ad Hoc Tipikor Diminta Lebih Terbuka
Berita

Pansel Hakim Ad Hoc Tipikor Diminta Lebih Terbuka

Pansel Hakim Ad Hoc Tipikor tetap mengedepankan aspek kualitas dalam meluluskan calon.

ASH
Bacaan 2 Menit
Hakim Agung Artidjo Alkostar. Foto: SGP.
Hakim Agung Artidjo Alkostar. Foto: SGP.
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) menyerahkan hasil rekam jejak Calon Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada tingkat pertama dan banding. Dari hasil penelusuran awal, KPP menilai 37 calon dari 58 calon yang telah lulus seleksi administratif dan tertulis tidak memenuhi syarat integritas, kompetensi dan independensi.

“Dari 37 calon belum sepenuhnya memenuhi tiga kriteria itu. Makanya, kita minta Pansel tidak meloloskan calon hakim ad hoc tipikor yang tidak memenuhi kriteria itu,” kata salah satu perwakilan KPP, Wana Alamsyah usai menyerahkan hasil penelusuran rekam jejak Calon Hakim Ad Hoc Tipikor di gedung MA, Kamis (5/11). KPP diterima langsung oleh Ketua Panitia Seleksi Calon Hakim Ad Hoc Tipikor, Artidjo Alkostar dalam sebuah pertemuan tertutup.

KPP terdiri dari Indonesia Corruption Watch, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Indonesia Legal Roundtable, Institute for Criminal Justice Reform, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, ELSAM, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan. Dari 37 calon yang telah ditelusuri, profesi advokat paling mendominasi sebanyak 21 orang. Sisanya, 3 orang merangkap sebagai dosen, PNS dan Pensiuan PNS sebanyak 6 orang. Selebihnya, dengan beragam profesi dari pensiunan TNI, Hakim, Swasta hingga auditor.

Wana melanjutkan dari aspek integritas ada beberapa calon yang memiliki integritas cukup baik dilihat dari sisi riwayat pekerjaan, prestasi, dan kepatuhan terhadap hukum. Menariknya, ada 18 calon yang terindikasi sebagai “pencari kerja”. Indikasi ini dilihat dari adanya calon yang pernah mengikuti beberapa seleksi calon pejabat publik, atau sedang tahap persiapan pensiunan atau telah pensiun.

Meski profesi advokat terbanyak, kata Wana, sejauh ini tidak ditemukan prestasi yang menonjol dari calon yang berlatar belakang advokat. Hampir tidak pernah menangani perkara yang menarik perhatian publik (high profile). Justru, ada beberapa calon dari kalangan advokat ditemukan pernah membela kasus korupsi.

“Ada beberapa calon dari advokat yang pernah menangani kasus korupsi, terima fee, atau menerima uang tips dari pengusaha,” ungkapnya.

Dari sisi kompetensi, KPP menemukan sebagian besar calon yang berhasil diwawancarai atau ditelusuri tak memahami isu korupsi secara baik. Bahkan, calon tak tahu jenis tindak pidana korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Calon juga tak menguasai persoalan teknis tentang pidana tambahan berupa uang pengganti atau pidana tambahan lain seperti pencabutan hak politik dan kewenangan KPK menuntut tindak pidana pencucian uang.

“Ironisnya, dari 37 calon sebagian besar calon Hakim Ad Hoc Tipikor tak menguasai pemahaman dasar tentang tipikor dan tindak pidana pencucian uang,” bebernya.

Sedangkan aspek independensi, KKP mencatat masih terdapat beberapa calon yang berafiliasi dengan partai politik. Bahkan, tercatat masih aktif sebagai anggota partai politik. Hal ini tentu akan mengganggu independensi calon jika terpilih. “Sedikitnya, ada lima calon yang berafiliasi dengan partai politik dan tiga calon memiliki hubungan keluarga dengan hakim,” kata Wana.

KPP mempertanyakan parameter yang digunakan dalam proses seleksi Calon Hakim Ad Hoc Tipikor ini. Sebab, masih ada beberapa calon yang diloloskan, tetapi kompetensinya kurang baik. “Pansel sudah menggelar seleksi tertulis, sebenarnya apa parameter penilaian Pansel meluluskan calon Hakim Ad Hoc Tipikor? Saat kita tanya soal pengetahuan umum soal korupsi, jawabannya tidak sesuai ekspektasi kita”.

Karena itu, pihaknya mendorong agar Pansel Calon Hakim Ad Hoc Tipikor MA lebih terbuka dan partisipatif dalam setiap tahapan seleksi dengan melibatkan publik termasuk KPK dan PPATK. Selama ini tahapan proses seleksi calon hakim ad hoc ini cenderung tertutup. “Tahapan seleksi ini, publik tidak diberitahu. Tiba-tiba sudah ada 58 nama yang lulus seleksi administratif dan tertulis,” katanya.

Terpisah, Juru Bicara MA Suhadi mengatakan permintaan KPP untuk melibatkan KPK dan PPATK tidak mungkin dilakukan pada seleksi Calon Hakim Ad Hoc Tipikor kali ini. Sebab, proses seleksi sudah sampai tahapan profile assessment dan wawancara yang dimulai pada Jum’at (06/11) besok. “Tetapi, ini menjadi masukan bagus untuk seleksi berikutnya,” kata Suhadi saat dihubungi.

Namun, dia membantah seleksi Calon Hakim Ad Hoc Tipikor ini mengabaikan aspek kualitas atau komptensi. Pihaknya tetap terbuka menerima masukan penilaian dari masyarakat. “Cara penilaian kita tidak tertutup, Kami menilai berdasarkan kualitasnya. Makanya, kami tidak mentargetkan jumlah hakim tipikor yang diluluskan tahun ini. Lebih banyak lebih bagus, tetapi kita tidak meninggalkan kualitas. Semuanya bergantung hasil seleksi,” tegasnya.
Tags: