Aturan Mahkamah Partai Dinilai Inkonsisten
Berita

Aturan Mahkamah Partai Dinilai Inkonsisten

Pemerintah mengakui ada persoalan aturan Mahkamah Partai.

ASH
Bacaan 2 Menit
Pemerintah yang diwakili Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Widodo Eka Tjahjana saat menyampaikan jawaban terkait perkara pengujian UU Partai Politik, Rabu (9/9). Foto: Humas MK
Pemerintah yang diwakili Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Widodo Eka Tjahjana saat menyampaikan jawaban terkait perkara pengujian UU Partai Politik, Rabu (9/9). Foto: Humas MK
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra menilai UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik terkait pemberian otoritas pada mekanisme penyelesaian internal partai masih “setengah hati”. Di satu sisi rumusan Pasal 32 menyebut putusan penyelesaian sengketa kepengurusan partai bersifat final-mengikat. Di sisi lain, justru Pasal 33 ayat (1) UU Parpol justru menarik kembali otoritas tersebut karena keputusan Mahkamah Partai bisa digugat ke pengadilan jika penyelesaian tidak tercapai.

“Otoritas penuh partai politik untuk menyelesaikan sengketa kepengurusan partai di Mahkamah Partai justru ‘dipangkas’ oleh rumusan Pasal 33 ayat (1) UU Parpol,” ujar Prof. Saldi Isra saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang pengujian UU Parpol dan UU PTUN di Mahkamah Konstitusi, Rabu (9/9).

Saldi menilai rumusan Pasal 32 dan Pasal 33 UU Parpol tidak konsisten (contraditio in terminis). Pasal 32 telah menyerahkan sepenuhnya sengketa kepengurusan partai oleh Mahkamah Partai sebagai pengadil internal yang putusanya bersifat final-mengikat. Artinya, tidak ada ruang keterlibatan badan peradilan lain masuk di dalamnya. Justru, Pasal 33 (1) menghilangkan sifat final dan mengikat keputusan Mahkamah Partai.

“Inkonsistensi ini baik prinsip kedaulatan parpol maupun sesama norma UU Parpol potensi berujung pada ketidakpastian hukum yang merugikan warga negara. Tentunya, tafsir Mahkamah sangat dibutuhkan dalam persoalan ini,” harap Saldi dalam persidangan yang dipimpin Anwar Usman.

Ahli yang sengaja diajukan pemohon ini mengakui Parpol masig “gagap” dengan eksistensi Mahkamah Partai. Selain masih baru, komposisi, desain, dan tata kerja, Mahkamah Partai ternyata belum dsiapkan secara matang oleh masing-masing parpol. Imbasnya, ketika muncul perselisihan, mereka justru kebingungan dalam memfungsikan Mahkamah Partai ini secara optimal.

Ada persoalan
Sebelumnya, dalam keterangannya pemerintah mengakui ada persoalan terhadap ketentuan Mahkamah Partai ini. Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Widodo Ekatjahyana mengamini keputusan Mahkamah Partai bersifat final-mengikat secara internal partai. Makanya, Kemenkumham hanya menetapkan kepengurusan parpol yang sah yang tidak boleh menyimpang dari keputusan Mahkamah Partai.

“Dalam konteks ini ketika ada pihak-pihak yang menggugat ke pengadilan negeri atau PTUN, itu perbuatan melanggar hukum atau UU Parpol. Kecuali, jika Mahkamah Partai tidak mengambil keputusan, baru bisa mengajukan gugatan ke pengadilan. Makanya, hingga saat ini pemerintah keukeuh terhadap penetapan kepengurusan Partai Golkar,” ujar Widodo.

Menurutnya, persoalan ini menjadi bahan masukan bagi badan peradilan ketika memutus sengketa kepengurusan parpol baik di pengadilan negeri maupun PTUN yang bersumber dari pelanggaran Pasal 32 UU Parpol. “Ini menjadi persoalan hukum, Pasal 32 UU Parpol ini mesti menjadi perhatian MK dalam memutus,” harapnya.

Lewat kuasa hukumnya, Kader Partai Gokar kubu Agung Laksono, Gusti Iskandar mempersoalkan Pasal 33 ayat (1) UU Parpol dan Pasal 2 angka 5 UU PTUN terkait sengketa kepengurusan partai melalui Mahkamah Partai, jika tidak tercapai diselesaikan oleh pengadilan negeri. Sementara  Pasal 2 angka 5 UU PTUN, tidak termasuk pengertian Keputusan Tata Usaha Negara atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan.

Frasa “tidak tercapai” dalam Pasal 33 ayat (1) UU Parpol mengandung ambiguitas multitafsir yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Padahal, sesuai Pasal 32 ayat (4), (5) UU Parpol, justru putusan Mahkamah Parpol bersifat final dan mengikat demi menjamin kepastian hukum. Menurutnya, membawa perselisihan kepengurusan Parpol ke pengadilan justru membuat masalah semakin runyam atau tidak efektif.

Imbas berlakunya kedua aturan itu jadi sebab pemohon gagal mencalonkan diri sebagai calon gubernur di Kalimantan Selatan. KPUD beralasan adanya sengketa dualisme kepengurusan Partai Golkar di pengadilan hingga saat ini belum selesai. Jika kepengurusan DPP Partai Golkar yang disahkan Keputusan Menkumham belum final, maka persetujuan pencalonan pemohon juga tidak dapat diberikan.

Karenanya,  pemohon meminta tafsir konstitusional bersyarat dengan menyatakan Pasal 33 ayat (1) UU Parpol dimaknai penyelesaian perselisihan terkait pelanggaran hak anggota partai, pemecatan tanpa alasan yang jelas, penyalahgunaan wewenang, dan pertanggungjawaban keuangan, dan keberatan terhadap keputusan partai politik dapat diajukan upaya hukum ke pengadilan negeri.

Frasa “badan peradilan” dalam Pasal 2 angka 5 UU PTUN dinyatakan konstitusional sepanjang dimaknai mencakup Mahkamah Partai Politik atau sebutan lainnya serta badan-badan yang diberi kewenangan memeriksa dan memutus perselisihan dengan putusan bersifat final dan mengikat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tags:

Berita Terkait