Kewenangan KY Perlu Diperkuat dalam Pengawasan Hakim
Utama

Kewenangan KY Perlu Diperkuat dalam Pengawasan Hakim

Meski demikian, KY mengakui belum dapat melakukan pemantauan hakim seluruhnya lantaran wilayah Indonesia yang sedemikian luas.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Sarifudin Sudding. Foto: SGP
Sarifudin Sudding. Foto: SGP
Penguatan lembaga pengawas eksternal hakim, yakni Komisi Yudisial (KY) perlu diperkuat dalam rangka menjalankan fungsi dan tugas pokoknya. Rekomendasi peningkatan mutu kode etik hakim kepada Mahkamah Agung mestinya menjadi acuan dalam rangka memperbaiki citra lembaga peradilan. Oleh sebab itu, tugas KY terbilang berat dalam melakukan pengawasan hakim di seluruh Indonesia.

Anggota Komisi III DPR Sarifuddin Sudding mengatakan, kewenangan KY perlu diperkuat. Meskipun sudah tercatat dalam UU No.18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial, tapi faktanya masih terdapat kekurangan. Misalnya, ketika KY memanggil hakim tertentu diduga melakukan pelanggaran etik, masih ada yang mangkir. Mestinya, hakim memenuhi panggilan KY untuk memberikan penjelasan seputar dugaan pelanggaran etik.

“Memang dalam pembahasan UU ini dahulu tidak terpikirkan soal sanksi. Sehingga ketika hakim dipanggil harusnya taat. Tetapi ada hakim yang mbalelo. Saya kira ini kelemahan dalam UU 18/2011.  Menurut saya perlu ada penguatan terhadap lembaga ini,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Kamis (4/6).

Revisi UU No.18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial masuk dalam Prollegnas 2015-2019 dengan nomor urut 62. Revisi UU KY diharapkan memberikan ruang lebih terhadap lembaga eksternal pengawas hakim itu agar lebih leluasa dalam menjaga harkat dan martabat hakim, dan lembaga peradilan umumnya.

Ia tak menampik terhadap pihak yang tidak senang dengan keberadaan KY. Makannya acapkali antara KY dengan Mahkamah Agung berseberangan dalam bersikap terkait dengan persoalan hakim. Sayangnya, terdapat pihak yang menguji materi UU No.18 Tahun 2011 tersebut. Adalah Ikatan Hakim Indonesia yang melakukan uji materi UU KY ke Mahkamah Konstitusi (MK), khususnya terkait keterlibatan KY dalam seleksi calon hakim.

Dia menilai terhadap lembaga yang memiliki kewenangan besar, perlu dilakukan pengawasan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). “Ada upaya mempreteli  kewenangan KY melalui judicial review ke MK, itu kita sesalkan,” ujarnya.

Semestinya, jika ingin memperkuat lembaga peradilan dan menjaga marwah hakim, keberadaan KY diperkuat. Apalagi, kata Sudding, keberadaan KY dijamin dalam konstitusi. Menurutnya, KY memberikan peran penting dalam seleksi calon hakim agung misalnya. Komisi III menjadi pihak yang menyaring tahap dua.

Selain Komisi III, masyarakat terbantu dengan keberadaan KY. Menurutnya, terhadap putusan hakim yang dinilai tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, maka dapat ditelusuri lembaga pengawas eksternal hakim itu. Tentu saja KY menelusuri dari sisi etik. Namun terkait dengan putusan, KY diminta tidak mengomentari.

Pasalnya, KY hanya menyentuh ranah dugaan pelanggaran kode etik. Kinerja KY di mata Sudding terbilang baik. Faktanya, banyaknya laporan masyarakat yang ditindaklanjuti KY hingga berujung pemecatan hakim yang diduga melanggar etik.

Komisoner KY, Imam Anshori mengamini pandangan Sudding. Menurutnya masih terdapat wilayah abu-abu yang menjadi pertentangan antara KY dengan MA. Misalnya, putusan yang diduga melanggar etika. Oleh KY hal tersebut masuk ranah etika. Sedangkan menurut MA hal itu masuk ranah teknis putusan.

“Makanya DPR perlu memperjelas dalam UU. Dengan begitu tidak ada lagi uji materi dari masyarakat. Kita tidak ingin berbebut kewenangan, ini perlu diperjelas aturan norma-norma,” ujarnya.

Ia mengambil contoh terkait dengan pelanggaran etik, KY semestinya diberikan kewenangan melakukan penyadapan terhadap hakim. Namun harapan itu tak terwujud. Menurutnya aturan main dalam menjaga martabat hakim perlu diperjelas DPR melalui revisi UU No.18 Tahun 2011. “Saya apresiasi dengan Pak Sudding dan teman-teman  di Komisi III untuk memperkuat KY. Saya harap revisi UU KY memperkuat,” katanya.

Benteng terakhir
KY selain lembaga pengawas eksternal, juga menjadi benteng terakhir bagi masyarakat. Nah, peran itulah dalam menjaga harkat dan martabat hakim perlu diperluas. Menurutnya bukan menjadi hal baru banyaknya putusan yang menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Peran KY mengungkap benar tidaknya putusan tersebut tanpa melanggara kode etik.

“Saya berharap KY yang dijamin konstitusi kita ini tinggal diperkuat dalam melakukan pengawasan,” ujarnya.

Politisi Partai Hanura itu berpandangan tetap akan memanfaatkan KY sebagaimana tertuang dalam Pasal 13 UU No.18 Tahun 2011. Sebagai amanat konstitusi, keberadaan KY tak bisa ditawar-tawar. Ia berpendapat pola rekruitmen hakim tanpa melibatkan KY dimungkinkan banyaknya terjadinya kolusi dan nepotisme. Terlebih, putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap tak dapat dieksekusi.

“Yah karena dari pengadilan tingkat bawah sudah terjadi permainan,” ujarnya.

Meskipun menjadi benteng terakhir bagi masyarakat, KY dalam menjalankan tugasnya masih mengalami kendala. Luasnya wilayah Indonesia dan banyaknya hakim yang tersebar di penjuru nusantara membuat KY mesti mengatur strategi. Ia mengakui lembaganya belum mampu maksimal melakukan pemantauan hakim secara menyeluruh.

“Kita belum mampu memantau hakim seluruhnya, karena wilayah Indonesia yang luas,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait