Menurutnya, permasalahan tersebut merupakan gabungan ketidaksesuaian dengan standar akuntasi pemerintahan, kelemahan sistem pengendalian intern, dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundangan-undangan. Permasalahan pertama, jelas Harry, pencatatan mutasi aset kontraktor kontrak kerjasama senilai Rp2,78 triliun tidak dapat dijelaskan. Kondisi tersebut terjadi karena pencatatan pelaporan aset KKKS belum didukung oleh sistem pengendalian yang memadai.
“Padahal jika didukung sistem pengendalian memadai, dapat menjamin keakuratan dan kelengkapan transaksi,” katanya.
Kedua, permasalahan utang pihak ketiga di tiga Kementerian Lembaga sebesar Rp1,21 triliun tidak dapat ditelusuri. Pasalnya, tidak didukung dokumen yang memadai. Ketiga Kementerian Lembaga itu adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika sebesar Rp1,12 triliun, Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia sebesar Rp59,12 miliar, BP Batam sebesar Rp23,33 miliar.
Ketiga, terdapat permasalahan pada transaksi dan/atau saldo yang membentuk Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebilai Rp5,14 triliun. Dengan begitu, penyajian catatan dan fisik SAL tersebut dinilai tidak akurat. Antara lain, pemerintah belum memiliki metode perhitungan SAL yangmenjamin saling uji antara catatan fisik SAL dilaksanakan secara menyeluruh dan konsisten.
Selain itu, usulan koreksi dari LKPP tahun 2014 unaudited menjadi LKPP tahun 2014 audited yang berpengaruh terhadap catatan dan fisik SAL sebesar Rp2,40 triliun. Pasalnya itu tadi, tidak didukung dengan penyampaain dokumen yang menjadi dasar perubahan dan penjelasan tertulis atas masing-masing transaksi. Kemudian juga saldo kas dalam transito menjadi bagian dari fisik SAL yang belum dapat diyakini kewajaran.
“Karena adanya transaksi kiriman uang senilai Rp3,32 triliun yang tidak dapat ditelusuri,” ujarnya.
Keempat, pemerintah belum memiliki mekanisme pengelolaan dan pelaporan tuntutan hukum sehingga belum jelasnya unit kerja yang bertanggungjawab dalam melakukan administrasi dan validasi atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap untuk kemudian diungkap sebagai kewajiban. Menurutnya, terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap berupa pembayaran ganti rugi uang dan penyerahan tanah belum seluruhnya dicatat sebagai kewajiban.
Mantan Ketua Komisi XI DPR periode 2009-2014 itu menambahkan, keempat permasalahan tersebut mesti menjadi perhatian pemerintah untuk mengambil langkah perbaikan. Hal itu dilakukan agar pemasalahan yang mempengaruhi kewajaran laporan keuangan menjadi semakin berkurang dan tidak menjadi temuan berulang.
“Jika langkah perbaikan tidak dilaksanakan secara maksimal, maka dapat mengganggu transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara,” ujar mantan politisi Golkar itu.
Anggota Komisi X Teguh Juwarno mengkritisi tiga hal laporan BPK atas LKPP 2014. Pertama, laporan LKPP tahun 2014 yang dilakukan BPK semestinya menjadi bahan yang tidak terpisahkan ketika DPR menyetujui RUU Petanggungjawaban Pemerintah Pusat. “Sering kali saya temukan laporan BPK ini tercecer. Misalnya, terkait aset kredit eks BPPN. Padahal laporan BPPN sudah diserahkan. Ini harus menjadi catatan penting,” ujarnya.
Kedua, ia meminta agar laporan BPK atas pemeriksaan di sejumlah Kementerian dan Lembaga diserahkan kepada masing-masing komisi di DPR. Hal itu dilakukan agar masing-masing komisi dapat segera menindaklanjuti dengan melakukan pendalaman dalam rapat kerja dengan mitra kerja komisi. Ketiga, adanya yang hilang dalam LHP LKPP senilai Rp60 triliun terkait dengan piutang pajak perusahaan-perusahaan.
“Ini kemana, mohon penjelasan agar ditindaklanjuti komisi,” ujar politisi PAN itu.
Ketua DPR Setya Novanto selaku pimpinan rapat paripurna menegaskan, laporan BPK akan menjadi catatan. Selain itu, pimpinan DPR akan mendistribusikan laporan BPK terkait dengan Kementerian dan Lembaga kepada masing-masing komisi di DPR. “Laporan BPK ini menjadi bahan untuk dipelajari, membahas dan menindaklanjuti anggaran melalui rapat kerja dengan mitranya masing-masing,” pungkasnya.