Ini Alasan PP Dana Desa Perlu Direvisi
Utama

Ini Alasan PP Dana Desa Perlu Direvisi

Pembagian dana tak merata. Diusulkan agar ada masa percobaan bagi perangkat desa dalam menyusun administrasi sehingga tak mudah terjebak masalah hukum.

FAT
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy dan Pengamat Hukum Tata Negara Margarito Kamis, dalam sebuah diskusi di DPR, Senin (4/5). Foto: FAT
Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy dan Pengamat Hukum Tata Negara Margarito Kamis, dalam sebuah diskusi di DPR, Senin (4/5). Foto: FAT
Wakil Ketua Komisi II DPR, Lukman Edy mengatakan, PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tengah direvisi. Salah satu alasan revisi adalah banyaknya desa yang merasa tak diperlakukan dengan adil dalam menerima dana dari pemerintah pusat.

“Minggu kemarin PP 60 segera direvisi, ada pasal-pasal yang tidak sesuai dengan keadaan,” kata politisi dari PKB ini dalam sebuah diskusi di Komplek Parlemen di Jakarta, Senin (4/5).

Ia berharap dalam pekan ini Presiden Joko Widodo segera menandatangani PP yang telah direvisi tersebut. Pasal yang menjadi perdebatan antar desa adalah mengenai penetapan empat kriteria transfer dana desa. Keempat kriteria tersebut berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, angka kemiskinan dan tingkat kesulitan geografis.

Akibat penetapan empat kriteria ini, lanjut Lukman, terjadi kesenjangan dalam penerimaan dana di tiap desa. Bahkan, dari hasil catatan yang diperoleh DPR kesenjangan tersebut cukup besar yakni ada desa yang menerima Rp100 juta, tapi di sisi lain ada juga desa yang terima Rp500 juta. Hal itu disebabkan persentase dana desa pada tiap kriteria berbeda-beda. Akibatnya, desa yang jauh letaknya atau angka kemiskinannya tinggi lebih besar memperoleh dana desa ketimbang desa yang tidak.

Rencananya, Lukman mengatakan, revisi ini akan dibuat sama standar perolehan dana oleh tiap desa. Seluruh desa akan memperoleh 90 persen dari dana desa yang ada, kemudian sisanya 10 persen akan ditetapkan berdasarkan empat kriteria. “Sehingga bisa diperkecil (kesenjangan, red) menjadi satu banding lima dari satu banding 24,” katanya.

Pada tahun 2015 ini, dana desa yang ditansfer sebesar 3,5 persen dari 10 persen yang wajib ditransfer. Sedangkan pada tahun 2016, sebesar 5,5 persen. “10 persen full direalisasikan pemerintah paling lambat 2017. Makanya wajar ada desa yang baru terima Rp240 juta sekarang ini,” kata Lukman.

Pengamat Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengatakan, mengenai dana desa ini memiliki persoalan tersendiri yang berdampak pada aparatur desa. Menurutnya, pendampingan terhadap aparatur desa oleh pemerintah pusat maupun provinsi perlu dilakukan secara sungguh-sungguh agar persoalan dana desa tidak berujung ke pidana.

“Apakah tindakan penyimpangan yang berasal dari ketidaktahuan dalam pengelolaan dana itu dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi?,” tanya Margarito.

Padahal, lanjut Margarito, dalam tindak pidana korupsi, berapapun uang negara yang hilang tetap dikualifikasi masuk sebagai tindak pidana korupsi. Selama ini, perangkat desa menjalankan roda pemerintahannya dengan cara gotong royong. Bahkan bukan tidak mungkin, alokasi anggaran A dilakukan untuk kepentingan acara B.

Cara-cara seperti ini yang kerap terjadi di pedesaan. Atas dasar itu, hal ini perlu dipikirkan oleh DPR maupun pemerintah dengan tidak menyingkirkan sifat gotong royong di roda pedesaan tersebut. Bila perlu, diberikan waktu bagi aparatur desa untuk bisa mengelola dan menyampaikan laporan dana desa mereka sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ia mengusulkan agar ada masa percobaan bagi perangkat desa dalam menyusun administrasi sehingga tak mudah terjebak masalah hukum. “Ada bagusnya periode 2014-2017 sebagai periode pembelajaran, Kementerian Desa Tertinggal memberikan pengetahuan soal administrasi keuangan. Misalnya mengadministrasikan dana desa itu seperti keuangan negara,” tutup Margarito.
Tags:

Berita Terkait