Besaran Iuran Jaminan Pensiun 8 Persen
Berita

Besaran Iuran Jaminan Pensiun 8 Persen

RPP-nya diproyeksikan selesai akhir April. Satu bulan untuk sosialisasi.

ADY
Bacaan 2 Menit
Besaran Iuran Jaminan Pensiun 8 Persen
Hukumonline
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Pensiun (RPP JP) sedang digodok pemerintah. Salah satu materi yang mendapat perhatian adalah besaran iuran.

Menteri Ketenagakerjaa, M Hanif Dhakiri, menginformasikan bahwa iuran JP pada BPJS Ketenagakerjaan adalah 8 persen. Pemberi kerja menanggung lebih besar, yakni 5 persen; dan sisanya oleh pekerja. Program ini diharapkan mulai berjalan 1 Juli mendatang. Informasi itu disampaikan Hanif seusai mengikuti rapat koordinasi. “Hasil rapat koordinasi tadi menetapkan besaran iuran jaminan pensiun sebesar 8 persen. RPP Itu sudah tahap finalisasi akhir, tinggal proses harmonisasi dari Kemenkumham dan menunggu pengesahannya saja,“ katanya di Jakarta, Rabu (08/5).

Materi RPP JP sudah lama dibahas cukup dan melibatkan banyak lembaga termasuk tripartit nasional. Instansi pemerintah yang terlibat adalah Kemenaker, Kemenkumham, Kemenkeu, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BPJS Ketenagakerjaan. Lantaran sudah melibatkan banyak pihak, Hanid Dakhiri berharap pelaksanaan program JP nanti mampu memberi kepastian hukum bagi para pemangku kepentingan.

Program JP ditujukan bagi pekerja yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara negara. Untuk pekerja di penyelenggara negara seperti PNS, Polri dan TNI program JP mereka akan diintegrasikan ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 2029.

Hanif menyebut program JP memberikan sejumlah uang tunai yang diterima peserta setiap bulan setelah memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. “Berdasarkan RPP jaminan pensiun tersebut , masa iuran minimal untuk mendapatkan manfaat program jaminan pensium SJSN adalah 15 tahun dan ditetapkan pertama kali usia pekerja 56 tahun,“ kata Hanif.

Hanif mengimbau pengusaha dan pekerja menyukseskan penyelenggaraan program jaminan sosial yang digelar BPJS Ketenagakerjaan. Caranya, dengan mendaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan agar produktivitas pekerja meningkat. ”Pemerintah terus mendorong agar perusahaan-perusahaan mempercepat pendaftaran kepesertaan pekerjanya dalam program BPJS Ketenagakerjaan untuk memastikan jaminan sosial pekerja/buruh dapat berjalan dengan baik“.

Hanif mencatat pekerja yang mendapat perlindungan lewat Jaminan Sosial jumlahnya hanya 17.540.545 orang. Terdiri dari peserta Jamsostek, PNS, Polri dan TNI. Padahal, angkatan kerja tahun 2013 mencapai 122,5 juta orang.

Hanif menjelaskan ada empat program yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Juli 2015 yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Hari Tua (JHT), Kematian (JKm) dan JP. Semua pekerja dan pemberi kerja wajib mengikuti program yang digelar BPJS khususnya Ketenagakerjaan.

”Keberlangsungan dari keempat program tersebut sangat ditentukan oleh kepercayaan masyarakat pekerja dan pengusaha terhadap penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Ketenagakerjaan terutama dalam hal pembayaran iuran, mengingat terdapat optimalisasi manfaat yang diterima, ” kata Hanif

Hanif juga berusaha mendorong sistem pengawasan untuk meningkatkan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Pengawasan akan dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan dengan memberi imbalan dan sanksi (reward and punishment). “Prinsipnya kita akan berusaha semaksimal mungkin melaksanakan apa yang menjadi amanat dari undang-undang dan mengambil tindakan tegas sebagai bentuk pengawasan,” katanya.

Direktur Litigasi KemenkumHAM, Nasrudin, secara singkat mengatakan peraturan pelaksana BPJS Ketenagakerjaan ditargetkan selesai April 2015. Jika target tercapai, BPJS Ketenagakjeraan masih punya waktu untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait program yang akan diselenggarakan 1 Juli 2015 agar bisa dijalankan dengan baik. “Ditargetkan (peraturan pelaksana BPJS Ketenagakerjaan,-red) selesai akhir bulan April 2015,” paparnya.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan pasal 70 UU BPJS mengamanatkan RPP JP harus selesai paling lambat dua tahun setelah UU BPJS ditandatangani (25 November 2013). Tapi, amanat itu tidak dilaksanakan oleh pemerintah karena sampai saat ini RPP JP belum selesai. “Pemerintahan yang dipimpin SBY dan Jokowi sama-sama melanggar pasal 70 UU BPJS,” urainya kepada hukumonline di Jakarta, Jumat (10/4).

Timboel mencatat salah satu polemik dalam pembahasan RPP JP yakni perdebatan antara pekerja dan pengusaha terkait besaran iuran. Pekerja ingin besarannya diatas 8 persen sedangkan pengusaha meminta sebaliknya. Namun, persoalan itu ada jalan keluarnya di RPP JP yang menyebut besaran iuran ditinjau secara periodik paling lama lima tahun.

Bagi Timboel, Apindo selaku kelompok pengusaha harusnya melihat program JP sebagai investasi SDM. Pekerja memperoleh kepastian dan kenyamanan kerja guna mendorong peningkatan produktivitas kerja, dan menjaga hubungan industrial di tempat kerja yang memberi dampak positif terhadap iklim investasi di Indonesia.

Timboel mengingatkan agar pemerintah belajar dari program jaminan sosial yang diselenggarakan PT Jamsostek. Ia menilai Jamsostek dan Kemenaker gagal untuk menjadikan seluruh pekerja jadi peserta Jamsostek karena  hanya sekitar 30 persen pekerja formal yang ikut. Salah satu penyebab kegagalan itu karena Menaker dan Direksi Jamsostek hanya mengimbau dan mengajak pengusaha dan pekerja untuk jadi peserta Jamsostek. “Kalau instrumen hukum dijalankan, para pengusaha akan mau mendaftarkan pekerjanya jadi peserta Jamsostek,” tukasnya.
Tags:

Berita Terkait