BPK: Implementasi Payment Gateway Abaikan Risiko Hukum
Berita

BPK: Implementasi Payment Gateway Abaikan Risiko Hukum

Dugaan kerugian negara masih dalam perhitungan BPK.

Bacaan 2 Menit
BPK: Implementasi Payment Gateway Abaikan Risiko Hukum
Hukumonline
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terus melakukan perhitungan terhadap dugaan adanya kerugian negara dalam pelayanan paspor melalui mekanisme payment gateway. Meski belum rampung perhitungan, setidaknya BPK telah menemukan adanya permasalahan dalam impementasi payment gateway. Demikian disampaikan Ketua BPK Harry Azhar Azis dalam laporannya di rapat paripurna DPR, Selasa (7/4).

BPK melakukan pemeriksaan terhadap kinerja atas efektifitas pelayanan paspor di Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) periode 2013 dan semeter I tahun 2014. Menurut Harry, pemeriksaan ditujukan untuk menilai terhadap pelayanan paspor kepada masyarakat yang sudah berjalan dengan mekanisme payment gateway.

Hasil pemeriksaan, kata Harry, menyimpulkan bahwa Ditjen Imigrasi Kemenkumham telah cukup efektif dalam pelayanan paspor. Bahkan dinilai telah melakukan perbaikan proses bisnis paspor dalam penerapa sistem pelayanan paspor terpadu (SPPT). Dengan begitu, masyarakat dan petugas pemberi layanan menjadi lebih nyaman dan puas dalam pengurusan paspor.

Kendati demikian, BPK pun menemukan adanya persoalan dalam perubahan mekanisme pembayaran berupa pembayaran elektronik dengan payment gateway. Antara lain, implementasi payment gateway mengabaikan resiko hukum. Mulai tender pemilihan vendor dilakukan pada saat tim E-Kemenkumham belum memiliki kewenangan. Selain itu, rekening bank penampung hasil payment gateway yang masuk kategori Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) tidak memiliki izin dari Menteri Keuangan.

Anggota BPK Moermahadi Soerja Djanegara menambahkan, belum adanya kewenangan tim E-Kemenkumham melakukan tender menjadi salah satu tindakan yang beresiko. Pasalnya belum adanya pendelegasian kewenangan dari negara. Kedua, penyetoran pendapatan hasil payment gateway mestinya disetorkan ke bank persepsi. Sayangnya hal itu tidak tidak dilakukan.

Menindaklanjuti laporan adanya dugaan kerugian negara, pihak Bareskrim pun meminta BPK melakukan perhitungan atas dugaan kerugian negara. Dalam kasus tersebut, mantan Wakil Menteri Hukum dan Ham (Wamenkumham) Denny Indrayana menjadi tersangka. Denny dinilai sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan mekanisme payment gateway.

Secara khusus, BPK mengamini permintaan Bareskrim. BPK pun melakukan pemeriksaan investigasi. Nah,d ari aksi tersebut nantinya BPK dapat mengetahui ada tidaknya kerugian negara. Moermahadi enggan membocorkan sudah sejauh mana hasil perhitungan kerugian negara. Yang pasti, proses perhitungan masih terus berjalan oleh tim yang ditugaskan menghitung dugaan kerugian negara proyek payment gateway.

Lebih jauh ia mengatakan hasil perhitungan kerugian negara nantinya bakal diserahkan kepada pihak Bareskrim. Perhitungan kerugian yang sudah berjalan sejak 19 Maret itu akan berakhir pada 19 April mendatang. Ya, pimpinan BPK memberikan waktu kepada tim selama satu bulan. “Karena sifatnya investigasi dan untuk itu harus kita serahkan kepada penegakan hukum dalam hal ini Bareskrim. Dan proses perhitungan kerugian negara juga masih berjalan, jadi tidak bisa disampaikan pada kesempatan ini,” ujarnya.

Meski akan berakhir pada 19 April mendatang, Moermahadi berharap hasihl perhitungan kerugian negara dapat segera rampung. Dengan begitu, BPK dapat segera menyerahkan hasil perhitungan kepada Bareskrim. Setidaknya, hasil perhitungan tersebut menjadi bagian mempercepat proses penyidikan di Bareskrim. “Saya kira secepatnya akan disampaikan,” pungkasnya.

Sekedar diketahui, penyelidikan Polri bermula dari laporan BPK pada Desember 2014. Kemudian pada 10 Februari 2015, Bareskrim Polri menerima laporan Andi Syamsul Bahri atas dugaan keterlibatan Denny Indrayana dalam kasus korupsi ketika masih menjabat sebagai wamenkumham. Polri juga sudah memeriksa belasan saksi dalam penyidikan, termasuk di antaranya mantan Menkumham, Amir Syamsuddin.

Denny Indrayana dikenakan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 dan pasal 23 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 tahun 1999 jo pasal 421 KUHP Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Tags:

Berita Terkait