Desentralisasi Kewenangan Polri Perlu
Berita

Desentralisasi Kewenangan Polri Perlu

Pengawasan internal belum maksimal

ADY
Bacaan 2 Menit
Mabes Polri. Foto: SGP
Mabes Polri. Foto: SGP
Kewenangan Polri yang begitu luas bisa menjadi boomerang bagi korps bhayangkara itu. Polri menjalankan fungsi penegakan hukum, perlindungan dan pengayoman masyarakat, dan keamanan. Akibat fungsinya yang begitu luas, beban Polri menjadi berat. Ini dianggap sebagai salah satu penyebab Polri belum menjadi institusi sipil yang diharapkan masyarakat pada awal reformasi.

Catatan buruk penganiayaan dan kekerasan dalam proses penegakan hukum masih terus terjadi di institusi kepolisian. KontraS, misalnya mencatat sepanjang 2013 terjadi 788 kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian. Jumlah penyksaan dan perbuatan tidak manusiawi yang dilakukan aparat kurun waktu 2010-2011 mencapai 21 kasus, periode 2011-2012 ada 14 kasus, 2012-2013 sebanyak 55 kasus, dan 2014-2015 terdapat 80 kasus.

Wakil Koordinator KontraS, Chrisbiantoro, menilai Polri menanggung beban yang besar. Akibatnya, sejak reformasi sampai sekarang Polri belum menjadi institusi seperti yang diharapkan rakyat. Beban berat menjadi penyebabnya.

Jika itu penyebabnya, Chrisbiantoro mengusulkan Polri mendelegasikan sejumlah kewenangan kapada institusi lain. Misalnya, lalu lintas termasuk tilang bisa diserahkan kepada DLLAJ Kementerian Perhubungan, atau perlindungan masyarakat diberikan kepada Satpol PP. Jadi, kata Chris, Polri bisa fokus pada penegakan hukum. “Kami mau Polri agar sesuai dengan yang diharapkan masyarakat yaitu mengayomi dan mampu menegakan hukum secara profesional,” kata Chrisbiantoro dalam diskusi yang di kantor KontraS Jakarta, Rabu (11/3).

Kalau yang menjadi persoalan itu lemahnya pengawasan, Chrisbiantoro melanjutkan, bisa saja ditambah lembaga pengawasan eksternal baru selain Komisi 3 DPR dan Kompolnas. Soal pengawas internal seperti Propam dan Irwasum Chrisbiantoro menilai selama ini belum maksimal. Misalnya, dalam menangani sebuah kasus pidana yang dilakukan anggota, tidak jarang propam menggesernya ke ranah etik.

Adanya wacana untuk menempatkan Polri di bawah kementerian menurut Chrisbiantoro bukan hal tabu. Sebab, di awal kemerdekaan posisi Polri sempat di bawah departemen. Bisa saja ke depan Polri berada dibawah naungan Kementerian Keamanan yang dipimpin Kapolri. Walaupun posisinya di bawah Kementerian, tapi tanggung jawabnya langsung kepada Presiden.

Ketua Presidium IPW, Neta S Pane, menilai kondisi politik yang ada saat ini belum tepat untuk mengubah posisi Polri di bawah Kementerian. Jika Polri ditempatkan dibawah Kementerian dikhawatirkan institusi Polri akan terseret pada kepentingan partai politik penguasa.

Ketimbang mereposisi Polri, Neta mengusulkan agar pengawasan, terutama internal diperkuat. Kemudian pengawas eksternal seperti Kompolnas harus diisi oleh orang-orang yang mampu melaksanakan fungsi pengawasan secara maksimal. Ia tidak sepakat jika Kompolnas dipimpin oleh pejabat publik seperti yang terjadi saat ini. Menurutnya, itu membatasi gerak pengawasan Kompolnas. “Irwasum dan Propam itu harus diperkuat,” ujarnya.

Senada, Karo Lemtala Srena Polri, Brigjen Pol Gatot Eddy Pramono, mengatakan institusi kepolisian di setiap negara berbeda-beda, ada yang berada di bawah Presiden atau Kementerian. Hal itu dipengaruhi oleh sejarah dan politik yang berkembang di negara tersebut. Tapi untuk Indonesia, posisi Polri di bawah Presiden dinilai sudah tepat.

Gatot setuju jika pengawasan terhadap Polri diperkuat. Untuk pengawas internal, dituntut mampu memberi sanksi tegas terhadap anggota Polri yang menyalahi aturan. “Kalau itu bisa dilakukan maka ke depan Polri akan lebih baik,” paparnya.

Dalam rangka pengawasan internal, Gatot menyebut saat ini Polri sedang membahas pembentukan tim pemberantasan anti korupsi. Tim itu ditujukan untuk mencegah terjadinya korupsi di lingkungan internal Polri. Bahkan ke depan setiap anggota Polri yang naik jabatan diwajibkan untuk mengisi LHKPN secara jujur.
Tags:

Berita Terkait