Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, Selasa (3/2). Keempat UU yang dimaksud adalah UU No.42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, UU No.15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, UU No.8 Tahun 2011 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan UU No.1 Tahun 2015 tentang Persetujuan Pengesahan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU.
“Hal ini menjadi mendesak mengingat akan aneh apabila pemilu yang deserentakkan penyelenggaraannya tetapi diatur dalam beberapa UU yang berbeda,” kata Titi.
Menurut Titi, putusan MK No.12/PUU-XI/2013 secara tidak langsung mendorong semua pemangku kepentingan pemilu untuk melakukan kodifikasi UU Pemilu. Di samping itu, Perludem mencatat ada enam hal lain yang mengharuskan pemilu untuk diatur dalam satu naskah UU.
Pertama, keempat UU terkait pemilu di atas mengatur hal yang sama dan dilakukan oleh penyelenggara yang sama yakni KPU beserta jajarannya. Kedua, di antara hal-hal yang sama itu ada perbedaan dan bahkan kontradiksi. Contohnya, terkait lama pelaporan dugaan pelanggaran pemilu yang berbeda antara Pilleg (UU No.8 Tahun 2011) yang ditentukan 7 hari dan Pilpres (UU No.42 Tahun 2008) yang hanya tiga hari.
Ketiga, banyak pengulangan yang tidak perlu di antara beberapa UU tersebut. Contohnya yaitu terkait wewenang KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten, PPK, PPS, dan KPPS serta rincian wewenang Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu, Panwaslu Kecamatan dan pengawas pemilu kecamatan diatur dalam UU No.15 Tahun 2011. Keempat, penegakkan hukum dalam tiga UU pemilu tidak memiliki standar yang sama dalam beberapa aspek.
Kelima, terjadi ketidakkonsistenan penerapan sistem pemilu antara jenis pemilu yang satu degan jenis pemilu yang lain. Misalnya dalam UU No.12 Tahun 2008, metode pemberian suara dilakukan dengan mencoblos nama atau gambar calon, sementara dalam UU No.42 Tahun 2008 dilakukan dengan mencontreng. Keenam, pemilu legislatif, Pemilu Preside, dan Pilkada menetapkan tujuan politik dan sistem pemilu sendiri.
Titi mengatakan, memprioritaskan Kodifikasi UU Pemilu pada Prolegnas tahun ini menjadi hal yang mendesak karena empat tahun bukanlah waktu yang panjang untuk pembahasan UU sekaligus persiapan bagi KPU dalam menyelenggarakan pemilu serentak di 2019.
“Dua tahun tergolong singkat untuk DPR membahas RUU Pemilu mengingat banyakya isu yang harus diatur oleh RUU ini,” ujarnya.
Isu yang diatur antara lain: Pertama, pengaturan aktor yang meliputi penyelenggara (yang sekarang diatur oleh UU No.15 Tahun 2011), pemilih, partai & calon dan pemantau. Kedua, pengaturan sistem yang meliputi daerah pemilihan, metode pencalonan, metode pemberian suara, formula perolehan kursi dan calon terpilih, waktu penyelenggaraan, dan ambang batas perwakilan.
Ketiga, pengaturan manajemen: penetapan dapil, daftar pemilih, pendaftaran peserta, pencalonan, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara, penghitungan suara, penetapan hasil, dan pelantikan. Keempat, pengaturan penegakan hukum: Tindak pidana, pelanggara administrasi, pelanggaran kode etik, perselisihan administrasi, dan perselisihan hasil. Kelima, pengaturan lain-lain.
Titi menambahkan, dengan dua tahun pembahasannya di DPR, diharapkan di awal tahun 2017, RUU ini sudah disahkan menjadi UU. “Kemudian ada waktu bagi KPU unttuk mempersiapkan regulasi dan persiapan teknis tahapan yang normalnya membutuhkan waktu dua tahun, sehingga pemilu serentak dapat diselenggarakan pada juni 2019,” ujarnya.
Ralat Yang benar: |