Pemerintah Akui Belum Bisa Tegas Cabut IUP Bermasalah
Berita

Pemerintah Akui Belum Bisa Tegas Cabut IUP Bermasalah

Masalah pemberian IUP mengarah pada indikasi korupsi.

KAR
Bacaan 2 Menit
Kantor Kementerian ESDM. Foto: SGP
Kantor Kementerian ESDM. Foto: SGP
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat hingga kini baru 6 ribu perusahaan tambang yang memiliki izin. Sementara itu, izin yang dikeluarkan pemerintah telah mencapai hampir 11 ribu. Dari sejumlah izin tersebut, baru sekitar separuhnya yang berstatus clear and clear (CNC). Selebihnya, masih bermasalah.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, R. Sukhyar, mengatakan bahwa seharusnya izin-izin bermasalah sudah dicabut akhir tahun lalu. Namun pihaknya hingga kini masih menunggu laporan dari pemerintah daerah. Pasalnya Kementerian ESDM hanya punya wewenang izin perusahaan tambang saja, sementara status bermasalah atau tidak ditetapkan oleh pemda.  “Harusnya kita cabut izinnya akhir tahun kemarin, tapi belum terlaksana,” tuturnya di Jakarta, Jumat (9/1).

Sukhyar mengakui, pemerintah belum bisa tegas mencabut IUP yang bermasalah. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sampai saat ini belum ada kejelasan mengenai batas administrasi antar-kabupaten atau kota dalam wilayah IUP. Kendala lainnya adalah banyak pemda yang masih sungkan untuk mencabut IUP bermasalah.

“Saat ini memang pemerintah belum bisa bertindak tegas untuk mencabut IUP yang bermasalah karena masih banyak perusahaan yang belum CNC,” ujarnya.

Lebih lanjut Sukhyar menjelaskan alasan banyaknya pemda yang sungkan mencabut IUP. Menurutnya, para bupati atau wali kota tak mau mencabut izin yang dianggap bermasalah oleh pemerintah pusat. Hal ini dikarenakan proses izin dapat menambah beban biaya bagi pengusaha. Sebab, mereka harus mengurus ke Jakarta. Belum lagi, kata Sukhyar, pemda menangkap kekhawatiran para pelaku usaha atas pungutan liar dalam proses pengurusan izin itu.

Sementara itu, aktivis Majelis Pemberdayaan Masyarakat Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Budi Nugroho menilai, IUP bermasalah rawan praktik korupsi. Ia mengemukakan bahwa potensi kehilangan penerimaan negara dari sektor tambang sebagai akibat dari IUP bermasalah mencapai Rp4 triliun. Angka itu terdiri dari iuran tetap sebesar Rp931 miliar dan kurang bayar royalti 4.725 IUP dari tahun 2010 hingga 2013 sejumlah Rp3,1 triliun.

"Kalimantan merupakan wilayah terbesar yang potensi kehilangan penerimaan negari dari land rent mencapai Rp574,9 miliar dan Rp2,3 triliun dari kurang bayar royalti," kata Budi.

Fakta-fakta itu, lanjut Budi, menunjukan adanya indikasi korupsi. Sebab, IUP bermasalah banyak menabrak aturan hukum. Ia menuturkan, 30 persen IUP atau hampir 600 IUP berada di kawasan Hutan Konservasi dan Hutan Lindung. Padahal, UU No 41/1999 dan UU No 5/1999 kawasan Hutan Konservasi dan Lindung tidak boleh ada pertambangan.

Selain itu, Budi melihat lebih dari 90 persen pemegang IUP tidak menempatkan dana jaminan reklamasi ke pemda. Bahkan, hampir semua IUP tidak menempatkan dana jaminan pasca-tambang. Sementara itu, berdasarkan PP No 78/2010 dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pasca-tambang harus diserahkan enam bulan sebelum kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dilakukan.

Indikasi lainnya, menurut Budi terlihat dari temuan bahwa 50 persen dari total IUP tidak memiliki NPWP. Ia mengatakan bahwa hal itu sama artinya separo perusahaan tambang tanpa membayar pajak. Terakhir, Budi menilai status CNC sama sekali belum mempertimbangan aspek keselamatan warga sekitar. Ia mencontohkan pertambangan di wilayah Kalimantan Timur, ada empat perusahaan tambang yang menewaskan delapan anak di bekas lubang tambang selama 2011-2014.

"Kita menilai permasalahan dalam pemberian IUP mengarah pada indikasi korupsi," tandasnya.
Tags:

Berita Terkait