ORI Terbitkan Rekomendasi Kawasan Batam-Bintan-Karimun
Berita

ORI Terbitkan Rekomendasi Kawasan Batam-Bintan-Karimun

Ombudsman minta Menteri menerbitkan keputusan baru tentang penetapan kawasan hutan dan bukan kawasan hutan di Kepulauan Riau.

ADY
Bacaan 2 Menit
Ketua Ombudsman RI, Danang Girindrawardana menyerahkan rekomendasi terkait kawasan Batam-Bintan-Karimun kepada Menko Kemaritiman Indroyono Soesilo, Jumat (9/1). Foto: RES
Ketua Ombudsman RI, Danang Girindrawardana menyerahkan rekomendasi terkait kawasan Batam-Bintan-Karimun kepada Menko Kemaritiman Indroyono Soesilo, Jumat (9/1). Foto: RES
Dalam rangka membenahi pelayanan publik di kawasan Batam, Bintan dan Karimun (BBK), Ombudsman menerbitkan rekomendasi kepada pemerintah pusat dan daerah setempat. Menurut Ketua Ombudsman, Danang Girindrawardana, masalah pelayanan publik yang muncul di kawasan tersebut akibat SK Menhut No. 463/Menhut-II/2013 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dan Perubahan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan di Provinsi Kepulauan Riau.

Regulasi itu menyebabkan investor yang ingin berbisnis di BBK kesulitan. Sebab, mereka tidak diberikan layanan permohonan Hak Guna Bangunan (HGB) oleh kantor pertanahan kota Batam. Begitu pula dengan pelayanan perizinan investasi, pemberian Hak Pengelolaan Lahan (HPL), administrasi pertanahan dan layanan bank.

Terhambatnya pelayanan publik di BBK karena SK No. 463/Menhut-II/2013 menetapkan BBK sebagai kawasan hutan. “Sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan terhentinya layanan bagi masyarakat dan dunia usaha,” kata Danang membacakan rekomendasi di kantor Ombudsman di Jakarta, Jumat (09/1).

SK No. 463/Menhut-II/2013 juga dinilai tidak memperhatikan kondisi yang ada di lapangan. Padahal, di kawasan yang ditetapkan sebagai hutan itu sudah ada rumah penduduk dan bangunan yang menjadi kegiatan pemerintahan di daerah itu.

Oleh karenanya, Danang menegaskan SK No. 463/Menhut-II/2013 bertentangan dengan sejumlah regulasi seperti PP No. 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, PP No. 47 Tahun 2007 tentang Kawasan perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan dan PP No. 48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun.

Kemudian, diperkuat lewat Perpres No. 87 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan dan Karimun. Selaras itu putusan PTTUN Medan tertanggal 8 September 2014 membatalkan SK No. 463/Menhut-II/2013.

Proses penerbitan SK No. 463/Menhut-II/2013 menurut Danang mengabaikan hasil rekomendasi tim terpadu yang dibentuk lewat SK Menhut No. 676/Menhut-VII/2009 tanggal 15 Oktober 2009 sebagaimana amanah UU dan PP No. 10 Tahun 2010 jo PP No. 60 Tahun 2012. Padahal mengacu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan setiap perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian tim terpadu.

Oleh karenanya Ombudsman menyatakan Menhut telah melakukan maladministrasi dalam penerbitan SK No.463/Menhut-II/2013. Kemudian, Kepala BPN (Menteri Agraria dan Tata Ruang) c.q kakanwil BPN Provinsi Kepulauan Riau c.q Kepala Kantor Pertanahan Kota Batam dinyatakan melakukan maladministrasi karena menolak permohonan penerbitan sertifikat HGB di kawasan BBK.

Dalam rekomendasinya, Ombudsman mewajibkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan keputusan baru untuk menetapkan kawasan hutan dan bukan kawasan hutan di Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan hasil penelitian tim terpadu.

Selama keputusan baru itu belum diterbitkan maka Menteri Agraria, Kepala Kanwil BPN Provinsi Kepulauan Riau dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Batam wajib menyelenggarakan pelayanan publik. Mengacu Perpres No. 87 Tahun 2011 tentang RTRW BBK.

Sedangkan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau, Walikota Batam dan kepala BP Batam wajib menyelenggarakan pelayanan publik bidang perizinan dan pengelolaan kawasan sesuai kewenangannya masing-masing.

Menanggapi rekomendasi itu Menteri Koordinator Kemaritiman, Indroyono Soesilo, menyambut baik. Rekomendasi itu menyelesaikan perselisihan yang terjadi antar instansi pelayanan publik. Ia mengaku persoalan tersebut menghambat kerja-kerja kementerian yang dipimpinnya.

Misalnya, pengembangan pembangunan ratusan galangan kapal di kawasan Batam terhambat. Padahal, pelabuhan nasional dan internasional serta galangan kapal yang ada di kawasan tersebut tergolong paling produktif di Indonesia.

Pengembangan pembangunan itu diperlukan agar kawasan lain bisa memiliki galangan kapal yang produktif seperti yang ada Batam. “Saat ini galangan kapal itu masih terus beroperasi, tapi investasinya jadi terhambat,” ujarnya.

Dirjen Planalogi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Soepijanto, menyebut akan segera menyampaikan rekomendasi Ombudsman itu kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya. Ia mengatakan rekomendasi itu akan dikaji dan kemudian menempuh langkah yang diperlukan. “Yang penting bagaimana caranya agar pelayanan publik tidak terganggu,” urainya.
Tags:

Berita Terkait