Pro Kontra Tiga Kartu Sakti Ala Presiden Jokowi
Utama

Pro Kontra Tiga Kartu Sakti Ala Presiden Jokowi

Ada yang menilai program itu berbau politis, tapi ada juga yang menilai program itu bagus bagi masyarakat miskin.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Presiden Jokowi (batik) saat peluncuran KKS, KIS, dan KIP, di Kantor Pos Besar, Jakarta, Senin (3/11). Foto: www.setkab.go.id
Presiden Jokowi (batik) saat peluncuran KKS, KIS, dan KIP, di Kantor Pos Besar, Jakarta, Senin (3/11). Foto: www.setkab.go.id
Peluncuran tiga kartu sakti oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tak melulu mendapat penilaian positif. Sebagian kalangan menilai peluncuran tiga kartu sakti itu bermuatan politis. Sebagian lagi mendukung program tersebut karena mempeluas jangkauan rakyat miskin.

“Tanpa sosialisasi masyarakat bingung dengan kartu sakti yang baru diluncurkan Presiden Jokowi. Karena sebelumnya sudah ada BPJS Kesehatan, Jamkesmas, Askes, dan lain-lain,” ujar Ketua  Program Studi Kesejahteraan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Siti Nafsiah Ariefuzzaman, dalam sebuah diskusi di Gedung DPD, Jumat (14/11).

Nafsiah berpandangan, peluncuran tiga kartu sakti cenderung politis karena bersamaan dengan rencana kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Menurutnya, pemerintah mesti menjelaskan kepada masyarakat terlebih dahulu mengenai program tiga kartu sakti tersebut.

Dia mengakui bahwa negara memiliki tiga kewajiban utama dalam mensejahterakan rakyat yaitu mewujudkan masyarakat yang sehat, sejahtera dan pintar. Namun, masyarakat di tingkat bawah bukan tidak mungkin merasa bingung dengan adanya transfer uang yang nilainya ratusan ribu rupiah bagi masyarakat miskin. Ia khawatir jika tidak dilakukan sosialisasi akan rawan terjadinya penyelewenangan.

Ironisnya, kata Nafsiah, pemerintah tidak satu kata ketika menjelaskan program kartu sakti. Misalnya, penjelasan antara Presiden Jokowi dengan menterinya terkait anggaran dana kartu sakti berbeda. “Jadi memang peluncuran kartu sakti itu tergesa-gesa, nyaris tak ada koordinasi di internal pemerintah sendiri. Sehingga jawaban kepada masyarakat berbeda-beda,” ujarnya.

Nafsiah mengatakan, masyarakat dalam menerima program pemerintah mesti didahului dengan informasi yang lengkap. Termasuk hak dan konsekuensi masyarakat. Ia berpandangan, dengan kartu sakti pemerintah dinilai menciptakan ketergantungan masyarakat lantaran bersifat tunai (cash).

Menurutnya, program pemerintah itu tak jauh berbeda dengan Bantuan Langsung Tunai yang digagas mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “Tidak ada unsur pemberdayaan, tak ada edukasi, tak ada impowerment. Tapi, kalau pemerintah yakin kartu sakti itu baik, maka pemerintah harus konsisten,” ujarnya.

Seperti diketahui, Presiden Jokowi, pada 3 November 2014 lalu, telah menandatangani Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia Sehat untuk Membangun Keluarga Produktif.

Inpres tersebut ditujukan kepada sejumlah kementerian dan lembaga negara. Yakni, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Sosial, dan Menteri Agama.

Selain itu, Inpres No. 7 Tahun 2014 juga ditujukan kepada Menteri Komunikasi dan Informasi, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, Kepala BPKP, Kepala Badan Pusat Statistik, Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Dirut BPJS Kesehatan, para Gubernur, dan para Bupati/Walikota.

Tidak Tumpang Tindih
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Huzna Zahir, mengatakan apapun bentuknya program pemerintah diharapkan tidak tumpang tindih. Pasalnya, Badan Penyelenggara Jasa Sosial (BPJS) Kesehatan sudah mulai diberlakukan di masyarakat.

Kendati demikian, dengan adanya banyak program pemerintah yang berorientasi kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan setidaknya dapat memperluas jangkauan bagi masyarakat miskin. “Banyak program makin baik untuk memperluas jangkauan, asal tidak tumpang-tindih,” katanya.

Dia mengakui, masyarakat masih bingung dengan mekanisme pelayanan kesehatan, melalui BPJS misalnya. Soalnya, pasien masih dibebankan untuk membayar biaya obat oleh rumah sakit yang bekerjasama dengan pemerintah melalui program tersebut. “Semua sudah ada prosedurnya, dan masih terdapat ketidaksinkronan dan ketidakjelasan. Informasi itulah yang harus disosialisasikan ke masyarakat, agar tidak membingungkan,” ujarnya.

Ketua Tim Sistem Jaminan Sosial Bambang Sulastomo berpandangan pemerintah mesti memberikan informasi perihal rumah sakit mana saja yang dapat menerima pasien pemegang KIS. Terlepas masyarakat pemegang KIS maupun peserta BPJS mesti diberikan pelayanan terbaik, tanpa terkecuali dari kalangan kaya maupun miskin.

Namun idealnya, kata Sulastomo, antara KIS dengan BPJS terintegrasi. Pasalnya, semangat BPJS adalah gotong royong melalui subsidi silang. “Seharusnya, KIS itu diintegrasikan ke dalam BPJS Kesehatan, mengingat ngurus orang miskin perlu bantuan orang yang kaya,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait