Pembatasan Wewenang Banggar Tak Hapus Korupsi
Utama

Pembatasan Wewenang Banggar Tak Hapus Korupsi

Putusan MK memperkuat eksekutif, sekaligus membuka celah lebih besar untuk korupsi. Perencanaan anggaran perlu diperkuat.

FITRI NOVIA HERIANI
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) memangkas kewenangan Badan Anggaran (Banggar) DPR dalam membahas mata anggaran teknis. Putusan  itu merupakan jawaban MK atas permohonan uji materi sejumlah pasal Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, da Dewan Perwakilan Daerah (UU MD3) dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Di satu sisi, putusan MK bisa memutus kesewenang-wewenangan Banggar dalam membuat tanda bintang, misalnya, pada anggaran tertentu. Peluang korupsi dalam pembahasan anggaran oleh anggota DPR –beberapa kasus sudah ditangani KPK—bisa diperkecil. Tetapi di sisi lain, putusan itu bisa saja hanya memindahkan peluang korupsi ke eksekutif.

Center of Reform on Economics (CORE) menilai putusan MK yang memangkas wewenang Banggar DPR dalam penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) justru bisa memperbesar celah eksekutif atau pemerintah untuk melakukan korupsi.

“Bahkan bisa lebih besar sejalan dengan besarnya peran eksekutif. Apalagi jika peran lembaga pengawas seperti Inspektorat Jenderal, Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pemerintah (BPKP) tidak diperkuat,” kata Direktur Eksekutif CORE Hendri Saparini di Jakarta, Rabu (28/5).

Hendri mengakui pada dasarnya putusan MK tersebut diharapkan dapat mengurangi celah korupsi di DPR. Namun tetap tidak menjamin potensi korupsi di DPR hilang. Ptusan MK ini dapat membuka celah KKN yang lebih besar dan berdampak pada rigiditas perbaikan anggaran.

Karena itu, Hendri berpendapat perlu penguatan lembaga perencanaan dan pengawasan. Selama ini ada banyak pola penyusunan APBN yang menjadi ‘batu sandungan’ dalam mencapai fungsi yang ideal, baik fungsi alokasi, distribusi maupun stabilisasi. “Langkah fundamental yang perlu dibenahi adalah menyusun perencanaan dan penganggaran yang komprehensif, fokus terintegrasi di seluruh sektor dan seluruh level pemerintahan baik pusat maupun daerah,” jelasnya.

Selain persoalan membuka celah korupsi pada eksekutif dan mengurangi celah korupsi pada legislatif, ada keunggulan dan kelemahan lain atas putusan MK ini. Keunggulannya, peran pemerintah sebagai lembaga eksekutif dalam penyusunan APBN menjadi lebih besar.  Hal ini, lanjut Hendri, bisa berdampak positif karena ada fleksibilitas eksekutif dalam memilih kebijakan dan program untuk mencapai target.

Sementara kelemahannya, pemerintah terpilih untuk periode 2014-2019 akan mengalami kesulitan untuk melakukan penyesuaian program pembangunan pada tahun pertama. Kesulitan tersebut disebabkan oleh dipersempitnya ruang untuk mengubah APBN. Padahal, kelonggaran dalam pengalokasian anggaran di tahun pertama sangat diperlukan untuk mencapai sejumlah prioritas pembangunan sesuai dengan visi dan misi presiden terpilih nanti.

Dosen Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Akhmad Akbar Susanto, sepakat atas penilaian Hendri. Ia mengatakan, putusan MK dinilai baik namun tidak menjamin akan memperbaiki APBN dan kinerja Banggar di masa mendatang. “Putusannya sudah bagus, tapi tetap tidak menjamin akan lebih baik ke depannya,” kata Akhmad.

Menurutnya, DPR memang memiliki kewenangan untuk membahas anggaran. Namun, pembahasan anggaran yang dipraktikkan oleh Banggar DPR sejauh ini sudah kebablasan. Substansi pentingnya adalah membatasi kewenangan DPR untuk membahas anggaran terlalu dalam.

Kewenangan Bappenas
Guna mengoptimalkan penggunaan APBN pasca putusan MK, Hendri menilai perlu penguatan dan pemberian kewenangan lebih kepada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas). “CORE menilai perlu adanya penguatan Bappenas dalam mengintegrasikan kebijakan dan program pembangunan,” kata Hendri.

Penguatan ini bertujuan agar perencanaan pembangunan yang tertuang di dalam APBN tidak lagi bersifat sektoral. Artinya, Bappenas perlu memiliki dan merancang model perencanaan pembanguna  yang komprehensif dan terintegrasi antar sektor maupun antar pemerintah pusat dan daerah.

Hendri menilai, selama ini peran Bappenas dalam merencanakan pembangunan minim. Misalnya saja soal program pengentasan kemiskinan. Dalam hal ini, harusnya Bappenas bisa melakukannya lebih dalam, sehingga program ini dapat sejalan dengan pengentasan pengangguran serta mengurangi ketergantungan pangan.

‘Selanjutnya program prioritas ini bisa diarahkan Bappenas dalam bentuk program kerja di masing-masing Kementerian dan Lembaga. Jadi, Bappenas harus diberikan kewenangan yang lebih besar lagi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait