Bagir Manan: Sengketa Pemilukada Perlu Pengadilan Khusus
Berita

Bagir Manan: Sengketa Pemilukada Perlu Pengadilan Khusus

Selama kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat koridornya masuk rezim pemilu yang merupakan kewenangan MK.

ASH
Bacaan 2 Menit
Mantan Ketua MA Bagir Manan. Foto: RES
Mantan Ketua MA Bagir Manan. Foto: RES
Mantan Ketua MA Prof Bagir Manan mengeluhkan Putusan MK yang menghapus Pasal 236 C UU No. 12 Tahun 2008 tentang PemerintahanDaerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terkait kewenangan MK mengadili sengketa pemilukada. Sebab, putusan syarat dengan konflik kepentingan MK sendiri.

“Dia (MK) melepas wewenangnya dengan menggunakan wewenangnya, itu tidak boleh. Bagi saya sangat prinsipil putusan MK itu ada konflik kepentingan. Sebab, semua hukum dii dunia melarang mengadili perkara untuk kepentingannya sendiri,” ujar Bagir usai acara diskusi di Gedung Pers Jakarta, Rabu (21/5).

Meski begitu, dia menghormati putusan itu sebagai produk pengadilan yang memiliki otoritas. Karena itu, dia mengusulkan agar pemerintah dan DPR membentuk lembaga khusus yang bisa mengadili sengketa hasil pemilu kepala daerah (pemilukada). Sebab, jika kewenangan itu dikembalikan lagi ke MA dan pengadilan di bawahnya akan sama persoalannya.  

“Saya termasuk yang menganjurkan lebih baik dibuat lembaga khusus saja. Jadi lembaga itu menyelesaikan secara khusus sengketa pemilukada. Sebab, pemilukada kan ada unsur politik dan macam-macamnya. Sama saja nanti kalau dibawa ke MA lagi, ada penyakit lagi,” kata Bagir.

Bagir menjelaskan, lembaga khusus itu nantinya bisa diisi oleh orang-orang yang kredibel dalam menangani sengketa pemilukada. Namun, tetap independen atau netral yang tidak memihak ke pihak-pihak yang punya kekuasaan dan uang.

“Orang yang netral, siapa saja karena saya cuma ingin menghindari dari dua lembaga peradilan itu (MK dan MA) agar dijauhkan dari konflik kepentingan. Bagi saya perkara pemilukada suka atau tidak suka ada unsur kepentingan politik. Itu menurut saya,” ucap Ketua Dewan Pers ini.

Di tempat yang sama, Mantan Hakim Konstitusi Prof Laica Marzuki mengatakan pengadilan yang tepat untuk mengadili perselisihan hasil pemilukada adalah tetap MK berdasarkan Pasal 24C UUD 1945. 

“Saya termasuk tidak setuju dengan putusan MK yang menyatakan pemilukada tidak masuk rezim pemilu. Itu masuk ke kewenangan MK atas dasar Pasal 24C ayat (1) UUD 1945,” kata Laica. 

Menurut dia selama kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat koridornya masuk rezim pemilu yang merupakan kewenangan MK. “Nah, nanti kalau kepala daerah disepakati dipilih oleh DPRD, itu bisa saja disidangkan MA. Tetapi, pemilihan secara langsung itu masuk rezim pemilu, ya ke MK,” katanya.

Laica juga mengkhawatirkan jika kewenangan sengketa pemilukada dikembalikan lagi ke MA, kasus mantan Ketua MK Akil Mochtar akan kembali terulang lagi. 

“Kasus semacam Akil Mochtar bukan tak mungkin akan terulang di MA karena pemeriksaan sengketa pemilukada di MA ‘tertutup’. Kalau tertutup nanti bisa masuk angin,” ujarnya. 

Sebelumnya, MK melalui putusan yang dibacakan, Senin (19/5) kemarin membatalkan konstitusionalitas Pasal 236 C UU Pemda dan Pasal 29 ayat (1) huruf UU kekuasaan kehakiman. Implikasinya, MK sudah tidak berwenang lagi mengadili sengketa hasil pemilukada yang sudah dijalaninya sejak adanya kesepakatan pengalihan kewenangan dari MA dan MK pada tahun 2008. Namun, kewenangan sengketa pemilukada masih menjadi kewenangan MK hingga ada undang-undang pengganti.

Mahkamah menilai sengketa hasil pemilukada itu tetap masuk rezim pemerintah daerah sesuai Pasal 18 UUD 1945, bukan masuk rezim pemilu seperti diatur Pasal 22E UUD 1945. Selain itu, jika sengketa pemilukada menjadi kewenangan MK bertentangan dengan original intent makna Pasal 22E UUD 1945 yang secara limitatif memilih anggota DPR, DPD, DPRD, presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan 5 tahun sekali.
Tags:

Berita Terkait